REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Yayasan Thalassemia Indonesia (YTI) menggelar acara untuk memperingati Hari Thalassemia Internasional yang jatuh pada 8 Mei. Puncak acara dari beberapa rangkaian kegiatan diadakan di Trans Studio Bandung (TSB), Kota Bandung, Selasa (8/5).
Dokter Spesialis Anak yang juga Konsultan Hematologi dan Onkologi dari RS Hasan Sadikin dr Susi Susanah mengatakan, talasemia merupakan penyakit kelainan genetik pada darah yang diturunkan. Penyandang talasemia atau disebut taller harus bergantung pada transfusi darah dan obat-obatan.
Susi menyebutkan, hingga kini taller yang terdata sekitar 9.000 penyandang seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebagian besar berada di Jawa Barat. "Di Indonesia ini banyak (taller), dari sekian banyak itu 9.000 yang tercatat yang mayor (berat). Dan dari jumlah itu 40 persen (3.264 penyandang talasemia) ada di Jawa Barat," kata Susi kepada wartawan, Selasa (8/5).
Susi menuturkan, pertumbuhan kasus talasemia sebagai kelainan anemia hemolitik di Jawa Barat menunjukkan angka yang tinggi dengan pencapaian angkadi akhir tahun 2017. Ia mengatakan 27 kota/kabupaten di Jawa Barat semuanya memiliki penyandang talasemia. Apalagi, Jawa Barat disebutnya merupakan daerah yang masuk dalam garis sabuk talasemia di dunia.
Jumlah ini diyakininya masih lebih banyak dari yang terdata. Banyak penderita ringan atau pembawa sifat yang belum tercatat atau bahkan tidak terdeteksi. Dengan adanya program jaminan sosial kesehatan akhirnya banyak pasien yang berobat ke rumah sakit dan terdeteksi.
"Waktu saya keliling Jawa Barat untul penelitian. Ada yang akhirnya cerita kalau dulu anak saya juga begini dan meninggal. Karena dulu banyak yang tidak tahu penyakit apa dan penanganannya," ujarnya.
Ia menyebutkan, penyandang talasemia di Kota Bandung berkisar 300an jiwa. Sementara untuk Bandung Raya sekitar 800-an. Kebanyakan mereka berobat di RS. Hasan Sadikin dan RSUD di daerah masing-masing.
Menurutnya, sebelum penyakit ini mulai dikenal dan diteliti lebih lanjut, usia penyandangnya rata-rata hanya sampao balita saja. Namun seiring perkembangan ilmu kedokteran angka harapan hidup taller pun meningkat, bahkan sudah sampai puluhan tahun.
Ia mengatakan, taller sangat bergantung pada transfusi darah dan obat-obatan. Karenanya, taller yang teratur menjalani pengobatan maka bisa bertahan hidup lama. Inilah yang menjadi faktor penentu kelangsungan hidup perjuangan taller.
"Komponen darah itu ada dua yaitu besi dan globin. Pada thalassemi ada kelainan pembentuk globin. Kelainan bawaan pada sel darah merah ini yang menyebabkan sel darah merah mudah hancur sebelum waktunya. Umurnya normal 90-120 hari. Karena bahan pembentuk utama tidak sempurna bahkan nggak ada jadi sel darah merah nggak stabil," tuturnya.
Dengan demikian, tambahnya, taller harus menjalani transfusi darah untum memperbaharui sel darah merahnya. Namun di satu sisi, zat besi yang ada dalam tubuh penderita tidak hancur dan justru menumpuk di organ seperti jantung, hati, limpa dan sebagainya. Karenanya harus diatasi dengan obat-obatan.
"Dalam sebulan biaya yang dikeluarkan minimal Rp 10 juta. Bahkan satu tahun biaya untuk transfusi darah dan obat-obatan bagi taller bisa mencapai Rp 400 juta," ujarnya.
Ia mengatakan, beruntung saat ini biaya penyandang talasemia ditanggung oleh pemerintah melalui BPJS Kesehatan. Sehingga penderita bisa terus meningkatkan kualitas hidupnya.
Selain pengobatan, para taller ini juta harus menghindari konsumsi makanan mengandung tinggi zat besi. Misalnya daging merah dan sayuran berwarna hijau.
Penyakit ini bisa dicegah melalui penghindaran pernikahan sesama penyandang atau pembawa sifat. Sehingga dianjurkan sebelum menikah, calon pasangan mengetes darah untuk bisa mengetahui potensi penurunan penyakit talasemia pada keturunannya.