REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menkopolhukam Wiranto enggan menjelaskan bagaimana caranya melawan tindak terorisme selama menunggu Revisi Undang-undang (UU) Terorisme disahkan. Ia meminta untuk percaya pada hasil Revisi UU Terorisme untuk hal tersebut ke depannya dan jangan dipolemikkan.
"Kita kan melawan terorisme, ya jadi saya tidak akan menjelaskan, oh caranya begini, nanti begini, akibatnya begini, kita pakai alat begini, dan sebagainya," ujar Wiranto di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Rabu (16/5).
Ia kemudian meminta untuk percayakan saja penanganan teroris kepada hasil RUU Terorisme nantinya. Dengan hasil Revisi UU Terorisme itu, aparat keamanan bisa memiliki keleluasaan yang lebih luas dalam menangani terorisme.
"Bolak-balik saya katakan, yang dicari aparat keamanan adanya payung hukum yang dapat membuat mereka lebih leluasa untuk bertindak melakukan langkah-langkah preventif," jelasnya.
Dengan demikian, sebelum harus dilakukannya tindakan represif, yang akan memakan korban, sudah ada langkah-langkah yang dapat aparat keamanan lakukan. Karena itu, dibutuhkan payung hukum untuk hal tersebut.
"Nah, ini butuh payung hukum sedang kita perjuangkan dan tidak usah dipolemikkan. Itu sesuatu yang sangat wajar, aparat keamanan perlu senjata, senjatanya apa? Ya payung hukum itu," tuturnya.
Baca: Polri: Kopassus Sudah Sering Terlibat Melawan Terorisme
Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan revisi terhadap Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, jangan sampai isinya dijadikan alat pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Untuk itu, pemerintah harus memberikan penjelasan yang lugas mengenai definisi terorisme.
"Definisi terorisme ini agar orang tidak gampang dituduh teroris dan jangan UU ini dijadikan semacam alat untuk melanggar HAM pada masa yang akan datang," kata Fadli.
Ia menegaskan bahwa dirinya setuju bahwa terorisme merupakan kejahatan luar biasa sehingga perlu upaya ekstra untuk memberantasnya. Namun, Fadli tidak menginginkan aturannya dalam bentuk UU Antiterorisme hasil revisi dijadikan alat kepentingan politik di luar upaya pemberantasan teroris.
"Ketika orang disebut penjahat, harus ada definisinya. Apakah penjahat itu melanggar UU dan sebagainya. Termasuk teroris perlu didefinisikan agar ruang lingkupnya jelas, jangan sampai meluas ataupun mengecil," ujarnya.
Politikus Partai Gerindra itu meningatkan jangan menyalahkan kejadian aksi teror yang dilakukan para teroris karena belum selesainya pembahasan revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Menurutnya, saat ini UU Antiterorisme masih berlaku sehingga masih menjadi payung hukum untuk pemberantasan terorisme. Hal itu harus dijalankan aparat keamanan.
"Sudah ada UU No. 15/2003 dan saat ini hanya revisi, yaitu pemerintah ingin menambah kekuatan. Aksi teror terjadi bukan karena revisi UU belum selesai, melainkan kegagalan aparat menanggulanginya," katanya.