REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Aksi terorisme belakangan ini yang mengikutsertakan anak-anaknya dianggap pakar pendidikan Arief Rachman adalah cerminan dari pendidikan orang tua terhadap anak yang sangat memprihatinkan. Pelaku teror dianggap berpikir pendek dengan melibatkan anak dalam melakukan tindak kejahatan tersebut.
"Sejak usai dini, anak-anak (pelaku teror) ini diajarkan berpikir pendek. Paham yang ditanamkan, iming-iming melakukan teror (dianggap) benar. Pendapat yang benar (jihad) itu akan dihitung sebagai pahala," ujar Arief, Rabu (16/5).
Jalan pintas yang dipilih untuk melibatkan keluarga dalam melakukan teror bisa disebabkan orang tua yang tidak ingin anaknya kelak menjadi cemooh lingkungan sekitar. Mereka tidak ingin anaknya dicap sebagai anak seorang teroris sehingga memilih mengikutsertakan mereka.
Seharusnya pendidikan yang benar kepada anak adalah menumbuhkan optimisme dalam menata masa depan meskipun hal itu dirasa sulit. Pendidikan yang baik dari orang tua dapat menciptakan suasana yang menyenangkan, juga kondisi emosional dan intelektual yang baik.
Sementara itu dilihat dari sisi kejiwaan, tindakan orang ikut terlibat melakukan teror bisa disebabkan karena kebutuhan ekonomi. Orang yang pesimis akan kecukupan kebutuhan materi membuat ia merasa marah dan melakukan berbagai cara untuk melampiaskan emosinya.
Alasan kedua, agar pelaku teror disegani oleh masyarakat atau kelompoknya. Dengan melakukan teror dan menjadi korban namanya akan tetap disegani. Terakhir, adalah orang yang berpikir pendek.
"(Teroris) Berpikir sempit dan pendek. Mereka kira bisa dilakukan perubahan dengan melakukan itu (teror), padahal tidak mungkin. Perubahan bisa dilakukan menurut saya lewat proses dan proses itu mendidik serta harus sabar. Orang (melakukan) teror itu tanda kalau tidak sabar, inginya cepat," ujar pria kelahiran Malang ini.