REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden AS Donald Trump mengatakan Korea Utara (Korut) belum secara langsung menyampaikan ancaman pembatalan KTT AS-Korut, yang akan mempertemukan Trump dengan pemimpinnya, Kim Jong-un. Sebelumnya, negara itu melalui kantor berita KCNA telah mengancam akan menarik diri dari pertemuan tersebut.
"Kami belum diberitahu sama sekali. Kita akan lihat nanti," kata Trump setelah melakukan pertemuan dengan Presiden Uzbekistan di Gedung Putih, Rabu (16/5). Ia menanggapi pertanyaan wartawan mengenai apakah KTT itu akan tetap dilangsungkan.
Kantor berita Korut KCNA melaporkan, Wakil Menteri Luar Negeri Korut Kim Kye-gwan mengaku merasa "jijik" terhadap Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih John Bolton. Kim juga menolak denuklirisasi "model Libya", yang memaksa negaranya untuk dengan cepat menyerahkan senjata nuklirnya.
"Jika AS mencoba menyudutkan kami dan memaksakan pelucutan nuklir secara sepihak, kami tidak akan lagi tertarik pada dialog semacam itu," kata Kim, seperti dilaporkan laman Bloomberg.
Kim menambahkan, Trump tengah mempertaruhkan reputasinya untuk tidak terlihat sebagai seorang presiden yang tragis dan gagal daripada pendahulunya, jika tidak menerima Korut sebagai negara nuklir.
Komentar Kim tersebut menunjukkan ketidakpuasan Korut atas pendekatan AS, terutama setelah Bolton membandingkan Korut dengan Libya. Bolton menggambarkan kesepakatan denuklirisasi Korut sama seperti Libya yang bersedia menyerahkan persenjataannya ke AS demi imbalan keringanan sanksi.
Pernyataan Bolton tentu menumbuhkan ketakutan di dalam rezim Korut, yang memandang senjata nuklir sebagai satu-satunya jaminan untuk menghadapi tindakan militer AS. Diktator Libya Muammar Qaddafi diketahui telah dibunuh secara brutal oleh pemberontak yang didukung NATO, dua tahun setelah program nuklirnya ditinggalkan.
"Negara kami bukan Libya atau Irak, yang telah mengalami nasib buruk. Benar-benar tidak masuk akal untuk berani membandingkan DPRK, negara senjata nuklir, dengan Libya, yang masih berada di tahap awal pengembangan nuklir," ungkap Kim.
Trump mengaku dia akan terus mengupayakan denuklirisasi Korut. Menurut dia, Gedung Putih juga akan tetap melanjutkan perencanaan menjelang pertemuan pentingnya dengan Kim Jong-un.
"Dia (Trump) akan selalu siap. Kami siap untuk bertemu, dan jika pertemuan itu terjadi, tentu luar biasa. Tetapi jika tidak, kami akan melanjutkan kampanye tekanan maksimum yang sedang berlangsung," kata Sekretaris Pers Gedung Putih Sarah Huckabee Sanders dalam sebuah wawancara dengan Fox News, pada Rabu (16/5).
Cina, mitra dagang dan sekutu utama Korut, menyerukan kedua pihak untuk menghindari provokasi lebih lanjut. "Perbaikan situasi di Semenanjung Korea sangat sulit dilakukan dan harus dihargai," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina Lu Kang kepada wartawan di Beijing.
KTT AS-Korut yang direncanakan digelar pada 12 Juni mendatang di Singapura, telah menjadi salah satu ujian terbesar bagi kebijakan luar negeri pemerintahan Trump. Pertemuan tersebut akan dilakukan setelah sebelumnya Trump dan Kim Jong-un sempat bertukar ancaman dan penghinaan.
Ketegangan meningkat dalam beberapa pekan terakhir. Pemerintahan Trump ingin Korut menyerahkan persenjataan nuklirnya sebelum mendapatkan keringanan sanksi. Sementara rezim Korut lebih menyukai pendekatan yang bertahap.
"Konflik kepentingan masih bertahan. Intinya adalah Kim tidak akan menyerah, dan alasannya adalah pesimisme. Korea Utara tidak memiliki teori keamanannya sendiri tanpa nuklir," kata Van Jackson, seorang ahli strategi di Pusat Studi Strategis di Victoria University of Wellington, dan mantan penasihat Departemen Pertahanan AS.
Pada Rabu (16/5), Korut juga tiba-tiba membatalkan rencana pertemuannya dengan Korsel. Korut juga memperingatkan AS untuk berpikir dua kali jika ingin mengadakan pertemuan dengan Kim Jong-un. Keputusan tersebut melemahkan optimisme setelah sebelumnya Kim setuju untuk membahas program senjata nuklirnya dalam pertemuan tersebut.
Baca: Donald Trump Kini Berbalik Dukung Perusahaan Cina