REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Dua kali letusan freatik yang terjadi di Gunung Merapi, Senin (21/5), sama sekali tidak disertai dengan gejala awal. Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Hanik Humaida menyebutkan gejala awal biasanya seperti peningkatan suhu di area puncak seperti yang terjadi saat letusan freatik, 11 Mei.
"Sama sekali tidak ada gejala awal apapun yang menunjukkan akan terjadi letusan freatik pada dua letusan yang terjadi secara berturut-turut pada hari ini. Baik dini hari tadi atau pagi ini," kata dia, Senin.
Gunung Merapi yang berada di perbatasan DIY dan Jawa Tengah mengalami dua kali letusan freatik. Pada pukul 01.25 WIB dengan tinggi kolom 700 meter berdurasi 19 menit dan kembali mengalami letusan freatik pada pukul 09.38 WIB dengan tinggi kolom 1.200 meter dengan durasi enam menit.
Pada letusan freatik yang terjadi dini hari tersebut, kamera thermal merekam terjadi kenaikan suhu hingga 200 derajat celcius secara mendadak. Begitu pula dengan letusan kedua juga terjadi perubahan suhu secara mendadak meskipun tidak setinggi saat letusan pertama.
"Suhu langsung tinggi saat terjadi letusan. Tidak ada gejala dengan peningkatan suhu secara perlahan-lahan. Kami akan coba mengatur peralatan agar bisa memantau suhu lebih detail lagi," tuturnya.
Letusan freatik Gunung Merapi yang terjadi pukul 09.38 atau kedua sepanjang Senin (21/5). Usai erupsi, abu letusan freatik kali ini mengarah ke selatan dan barat daya dari puncak.
Hanik menyebut, tidak adanya gejala awal apapun sebelum terjadi letusan freatik merupakan hal yang cukup wajar. Terlebih dua letusan yang terjadi tersebut berskala kecil.
Berdasarkan studi yang dilakukan terhadap 115 kejadian letusan freatik, sebanyak 62 persen disertai dengan gejala awal, 22 persen gejala yang menyertai tidak jelas dan 16 persen sama sekali tidak disertai gejala.
Dari kedua letusan freatik yang terjadi dalam waktu berdekatan tersebut, BPPTKG juga tidak melihat adanya perubahan morfologi di puncak Gunung Merapi. "Sekali lagi, letusan freatik ini merupakan karakter Merapi," kata dia.
Dia menambahkan letusan freatik biasanya terjadi setelah terjadi erupsi besar. "Sejak 2010 hingga saat ini, sudah terjadi sembilan kali letusan freatik," ujar Hanik.
Ia pun menegaskan letusan freatik di Gunung Merapi hingga saat ini tidak disertai maupun diikuti dengan perubahan gejala seismik apapun. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa letusan yang terjadi murni disebabkan akumulasi uap air dan gas hingga menyebabkan embusan.
"Seluruh gejala seismik masih normal. Kami akan terus melakukan pemantauan 24 jam sehari. Jika ada perubahan gejala seismik, maka akan kami informasikan segera ke masyarakat. Letusan vulkanis biasanya disertai dengan gejala seismik maupun deformasi," katanya.
Letusan freatik Gunung Merapi yang terjadi pukul 09.38 atau kedua sepanjang Senin (21/5). Usai erupsi, abu letusan freatik kali ini mengarah ke selatan dan barat daya dari puncak.
Meskipun letusan freatik masuk dalam kategori letusan yang tidak berbahaya, Hanik mengingatkan masyarakat untuk tidak beraktivitas dalam radius dua kilometer dari puncak. Salah satunya, dia menyebutkan, aktivitas pendakian.
Sejak terjadi letusan freatik pada 11 Mei, dia menyatakan, Gunung Merapi ditutup untuk pendakian. "Kami baru akan mendiskusikan rencana pembukaan kembali tetapi terjadi erupsi freatik. Kami akan diskusikan lagi bagaimana sebaiknya," imbuhnya.
Salah satu bahaya yang harus diantisipasi dari letusan freatik adalah abu vulkanik yang bisa mengganggu pernafasan. Karena itu, masyarakat perlu menggunakan masker maupun kacamata saat beraktivitas di luar ruangan.
"Pada letusan freatik yang terjadi pukul 01.25 WIB sebaran abu mengarah ke barat dan barat daya sedangkan pada letusan pukul 09.38 WIB, sebaran abu lebih banyak mengarah ke selatan," ucapnya.