REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mempersilakan adanya gugatan uji materi terhadap aturan larangan calon anggota legislatif (caleg) dari mantan narapidana kasus korupsi. Menurutnya, KPU berhak memasukkan aturan tersebut dalam Peraturan KPU (PKPU) pencalonan anggota DPR, anggota DPR provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota.
"Kalau hal itu (menerapkan larangan tersebut) sudah menjadi keputusan KPU ya sudah. Sebab, itu hak KPU. Kalau ada masyarakat tidak puas (dengan aturan tersebut) silakan gugat ke Mahkamah Agung (MA)," ujar Tjahjo kepada wartawan di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, Kamis (24/5).
Tjahjo membenarkan jika hak KPU untuk mandiri dalam menyikapi hasil rapat konsultasi dengan DPR dan pemerintah sudah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut MK, sifat keputusan dalam rapat konsultasi tidak mengikat.
Namun, pemerintah tetap berpandangan bahwa kemandirian KPU sebaiknya sejalan dengan peraturan perundangan. "Jadi setiap KPU menyusun PKPU atau Bawaslu menyusun Perbawaslu, harus sesuai Undang-undang.Saya tahu niat KPU (soal larangan caleg mantan koruptor) ini baik, untuk mengurai persoalan korupsi dan menjadi salah satu solusi, " tambah Tjahjo.
Baca: Larangan Mantan Koruptor Jadi Caleg Rawan Gugatan
Ketua Komisi II DPR Zainuddin Amali mengatakan, larangan caleg dari mantan narapidana kasus korupsi sangat rentan digugat ke MA. DPR mengingatkan KPU agar siap menghadapi potensi gugatan itu.
"Silakan saja jika demikian (KPU tetap memberlakukan larangan) tetapi, kemarin kesimpulan rapat adalah Komisi II, Bawaslu, dan pemerintah tetap mengikuti aturan undang-undang untuk syarat pencalonan caleg. Kemudian kalau KPU membuat aturan yang di luar undang-undang ya silahkan. Kan pasti ada yang menggugat (peraturan KPU) itu," ujar Amali.
Gugatan yang dimaksud, lanjut dia, bisa berasal dari masyarakat umum maupun pihak lain. Namun, menurut Amali, Komisi II DPR tidak akan mengajukan gugatan uji materi atas aturan tersebut.
"Jika nanti ada gugatan, maka harus dihadapi. Artinya, DPR, pemerintah dan Bawasku terlepas dari gugatan itu karena kesimpulan kami kemarin sudah jelas bahwa kami tetap berpegang teguh kepada UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017," lanjutnya.
Sebelumnya, Komisioner KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, mengatakan larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg akan tetap diberlakukan. Hal ini sesuai dengan keputusan rapat pleno yang dilakukan oleh KPU untuk menyikapi penolakan larangan tersebut oleh DPR, pemerintah dan Bawaslu.
"Kami tetap untuk tidak memperbolehkan mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg. Jadi tetap sebagaimana yang ada dalam rancangan terkahir dari PKPU mengenai pencalonan anggota DPR, anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota," tegas Pramono, Rabu (23/5).
Saat disinggung tentang risiko gugatan peraturan ini ke MA, Pramono menyatakan KPU siap menghadapinya. "Kami tentu akan menyiapkan penjelasan dan argumen hukum jika memang nanti ada gugatan. Sebab, kami pun senang jika ada adu argumentasi terkait aturan yang kami susun tersebut di forum uji materi di MA," paparnya.
Sebagaimana diketahui, pada Selasa (22/5), Komisi II DPR, pemerintah dan Bawaslu, sepakat menolak usulan KPU tentang larangan calon anggota legislatif dari mantan narapidana kasus korupsi. Ketiga pihak sepakat bahwa larangan itu harus memperhatikan pasal 240 ayat 1 huruf (g) UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
Hal tersebut menjadi salah satu kesimpulan rapat dengar pendapat antara Komisi II DPR, KPU, Bawaslu dan pemerintah yang diwakili oleh Kemendagri pada Selasa. "Kamimenyepakati aturan larangan mantan narapidana korupsi dikembalikan peraturannya pada pasal 240 ayat 1 huruf (g) UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017," ujar anggota Komisi II DPR, Nihayatul Wafiroh, saat membacakan kesimpulan pada Selasa.
Adapun pasal 240 mengatur tentang persyaratan bakal balon anggota DPR, DPRD Provinsi danDPRD kabupaten/kota. Bunyi ayat 1 huruf (g) yakni bakal caleg harus memenuhi syarat 'tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana'.