REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan kepastian tentang penyelenggaraan KTT Korea Utara (Korut)-AS di Singapura pada 12 Juni mendatang akan ditentukan pekan depan. Trump mengatakan, potensi penyelenggaraan KTT Korut-AS masih cukup baik.
Kendati demikian, ia belum dapat memastikan apakah KTT akan digelar sesuai tempat dan waktu yang direncanakan. (Baca: Korut Serius Ancam Batalkan KTT dengan AS)
"Apa pun itu, kita akan tahu pekan depan tentang Singapura. Dan jika kita pergi (ke KTT), saya pikir itu akan menjadi hal yang hebat bagi Korut," ujar Trump ketika diwawancara awak media pada Rabu (23/5).
Menurut sejumlah pejabat AS, beberapa pejabat Gedung Putih akan melakukan perjalanan ke Singapura akhir pekan ini. Mereka akan bertemu dengan para pejabat Korut untuk membahas agenda dan keperluan logistik dalam KTT tersebut.
Ketika bertemu dengan Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-in di Gedung Putih pada Selasa (22/5), Trump mengungkapkan keraguannya tentang penyelenggaraan KTT Korut-AS. Hal ini terjadi setelah Korut mengancam akan menarik diri dari KTT tersebut.
Namun hal tersebut dilakukan Pyongyang bukan tanpa alasan. Mereka gusar karena AS dinilai terlalu berhasrat melucuti senjata nuklirnya. (Baca: Parlemen Inggris Desak Penjualan Senjata ke Israel Dihentikan)
Hal ini pun diperparah ketika Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton dan Wakil Presiden AS Mike Pence mengatakan proses denuklrisasi Korut dapat mengikuti gaya Libya era Muamar Gaddafi. "Mengingat komentar dari politisi tingkat tinggi AS yang belum terbangun dari realitas yang keras ini dan membandingkan Korut dengan Libya yang menemui nasib tragis, saya jadi berpikir bahwa mereka tahu terlalu sedikit tentang kita," kata Wakil Menteri Luar Negeri Korut Choe Son Hui dilaporkan kantor berita Korut, Korean Central News Agency (KCNA).
Model denuklirisasi Libya mengacu pada negosiasi pada 2004. Kala itu AS berhasil melucuti komponen nuklir Libya yang masih dipimpin Muammar Gaddafi. Namun setelah perlucutan tersebut, Gaddafi, yang telah memerintah selama 42 tahun, digulingkan dan tewas pada 2011.
Peristiwa bersejarah ini yang menjadi perhatian dan kekhawatiran Korut bila menyerahkan senjata nuklirnya kepada AS. Oleh sebab itu, Choe Son Hui pun menyangsikan penyelenggaraan KTT Korut-AS akan bermanfaat, terutama untuk negaranya.
"Kami tidak akan meminta AS untuk berdialog atau menyusahkan untuk membujuk mereka jika mereka tidak ingin duduk bersama kami," ujarnya.
Ia menyatakan negaranya juga siap bila ternyata harus menghadapi AS dalam konfrontasi nuklir. "Apakah AS akan menemui kami di ruang pertemuan atau menemui kami di konfrontasi nuklir, sepenuhnya bergantung pada keputusan dan perilaku AS. Untuk meminjam kata-kata mereka, kami juga dapat membuat AS merasakan tragedi yang mengerikan yang belum pernah dialami atau bahkan dibayangkan hingga saat ini," katanya menegaskan.