REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sorak-sorai membahana di Kota Juba. Lagu “South Sudan Oyee” berkumandang di seantero kota. Kegembiraan dan kebahagiaan terpancar dari wajah puluhan ribu massa yang tumpah ke jalan-jalan. Tanggal 9 Juli 2011 adalah hari bersejarah bagi rakyat Republik Sudan Selatan. Mereka merayakan hari kemerdekaan setelah lepas dari Republik Sudan.
Sudan Selatan menjadi negara termuda sekaligus yang termiskin dan tertinggal di dunia. Negeri berpenduduk 8,36 juta jiwa itu memproklamasikan kemerdekaannya pascareferendum yang digelar pada Januari 2011. Sebanyak 99 persen warga Sudan Selatan memilih merdeka.
Negara beribu kota Juba itu terletak di negara bagian khatulistiwa tengah sebelah selatan. Sudan Selatan merupakan negara yang terkurung daratan dengan luas mencapai 619.745 km persegi. Negeri itu berbatasan dengan Ethiopia di sebelah timur, sementara di selatan dengan Kenya, Uganda, dan Republik Demokratik Kongo. Sementara itu, di bagian barat bertetangga dengan Republik Afrika Tengah dan di utara berdampingan dengan Sudan.
Berbeda dengan Sudan yang mayoritas penduduknya beragama Islam, di Sudan Selatan kaum Muslim hanyalah minoritas. Mayoritas penduduknya adalah penganut animisme atau agama warisan nenek moyang mereka, seperti Dinka. Pemeluk Kristen di wilayah itu mencapai 10 persen. Tak diketahui secara pasti jumlah kaum Muslim yang menetap di Sudan Selatan.
Siswi menuliskan ayat Alquran di atas sabak kayu di selatan Kota Darfur, Sudan.
Umat Islam di Sudan Selatan memilih melepaskan diri dari Sudan pada saat referendum dilakukan. Meski selama konflik diperlakukan dengan baik oleh Pemerintah Sudan yang berkuasa di Khartoum, Muslim di Sudan Selatan menginginkan negara baru. Alasannya, selama berada di bawah pemerintahan Sudan Utara, mereka kurang diperhatikan.
“Mereka (Pemerintah Sudan) menjadikan kami (Muslim) sebagai warga kelas tiga,” ujar Juma Said Ali, wakil ketua Bidang Dakwah Majelis Muslim di Sudan Selatan, seperti dikutip Sudan Tribune. “Lebih baik bagi kami untuk memisahkan diri,” kata Said Ali.
Padahal, menjelang referendum, ulama terkemuka di dunia, Syekh Yusuf al-Qaradhawi, meminta agar Muslim di Sudan Selatan tak ikut memilih. Menurut Syekh al-Qaradhawi, referendum itu hanyalah upaya dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat untuk memecah Sudan. “Sudan adalah negara besar. Mereka sengaja tak menginginkan negeri ini survive,” ungkap Ketua Persatuan Ulama Sedunia itu.
Sudan Selatan merupakan negara sekuler. Agama dan pemerintahan menjadi bagian yang terpisah. Presiden Sudan Selatan, Salva Kiir Mayardit, yang beragama Katolik Roma, berjanji akan menghormati kebebasan semua agama yang ada di negaranya. Salah seorang putra Presiden Salva Kiir yang beragama Islam bernama John malah menjadi seorang mualaf. Ia berganti nama menjadi Muhammad.
Guru mengaji memeriksa hasil tulisan santrinya di selatan Kota Darfur, Sudan.
“Aku ingin masuk surga dan kembali ke Sudan Selatan untuk mengajak semua orang di sana agar memeluk Islam,” ujar John alias Muhammad. Perbedaan yang ada di keluarga Presiden itu diharapkan bisa menjadi contoh bagi penduduk negeri termuda itu untuk menerima perbedaan agama dan menghormati perbedaan tersebut di dalam masyarakat.
Kedatangan Islam ke wilayah Sudan Selatan tak dapat dielakkan dari sejarah kedatangan Islam ke Afrika secara global. Penyebaran Islam dimulai tak lama setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW pada 632 M. Penyebarannya dimulai dari Mesir. Pada 640 M, Khalifah Umar bin Khattab membawa 400 pasukan untuk membantu Amru bin Ash melawan Raja Romawi, Muqauqis, yang dianggap semena-mena terhadap bangsa Mesir.
Dua tahun kemudian, kaum Muslim berhasil mengusir Raja Romawi tersebut. Mesir menjadi pintu gerbang Islam masuk ke wilayah Afrika. Selain di Mesir, penyebaran Islam juga terjadi di Libya dan Nigeria yang merupakan basis kebudayaan Islam terkuat di Afrika.
Para prajurit Arab membawa Islam dari Arab ke Afrika Utara. Penaklukan pertama kali oleh pasukan Arab terjadi di Tripoli pada 643. Bangsa Arab menguasai Nubia pada 642 M. Namun, orang Nubian berusaha mempertahankan daerah mereka sehingga pasukan Arab mundur dari peperangan.
Bocah Sudan dan sabak kayu untuk belajar menulis Alquran di selatan Kota Darfur, Sudan.
Orang Arab yang nomaden mencari-cari daerah padang rumput baru, dan pelaut ataupun saudagar Arab mencari wilayah untuk menjual rempah-rempah. Pernikahan antara orang Arab dan penduduk setempat melahirkan Arabisasi. Pemimpin pasukan Arab di Mesir, Abdullah bin Saad, lalu mengadakan perjanjian dengan bangsa Nubia yang berlangsung selama 600 tahun.
Ketika Kekhalifahan Turki Usmani berkuasa, Nubia Utara menjadi orbit mereka. Sejak itu, bangsa Funj yang menjadi kekuatan baru menggantikan kekuatan Kerajaan Kristen, Alwa. Pada 1504, pemimpin Funj, Amara Dungas, menemukan Kerajaan Sennar yang menjadi kunci kekaisaran Funj. Kekaisaran itu berbatasan dengan Arab-Muslim yang menggunakan bahasa Arab. Seiring waktu, bahasa Arab pun menjadi bahasa persatuan dan dibuktikan dengan dokumen kenegaraan pada abad ke-18.
Penyebaran Islam di kerajaan itu dimulai dari kalangan elite dan pedagang. Islam makin menyebar ketika ulama dari Mesir dan Arab masuk ke daerah tersebut. Para ulama tersebut mempunyai pengaruh yang besar di Sudan bagian timur, yang merupakan tempat tercepat penyebaran Islam.
Mereka mendirikan lembaga pendidikan dan sekaligus memegang peranan sebagai anggota tarekat sufi. Ada beberapa tarekat yang berkembang di wilayah Funj, yaitu Shahiliyah pada abad ke-15, Qadiriyah pada abad ke-16, dan Majdubiyah pada abad ke-18. Berkat para fakih (ulama), sultan memasukkan Islam ke dalam struktur birokrasi pada abad ke-19 M.
Setelah terlepas dari kekuasaaan Dinasti Usmani, Sudan berada di bawah kekuasaan Mesir yang mendapat dukungan dari Inggris. Gubernur Mesir pada saat itu, Muhammad Ali, berkuasa dengan tangan besi dan tidak ada yang mampu melawannya. Rakyat tidak dilibatkan dalam mengambil keputusan hingga ia digantikkan Ali Khursid Agha.
Pada era kekuasaannya, Muhammad Ali menundukkan elite keagamaan Muslim dengan menghapus hak finansial pada fakih dan menekan beberapa tarekat sufi. Ketika itu belum ada pemimpin yang berupaya untuk memperjuangkan kemerdekaan Sudan hingga akhirnya muncul Muhammad Ahmad pada 1881.
Ia dan pasukannya berhasil menguasai Khartoum. Gerakan yang mereka lakukan tidak hanya mengembalikan Islam pada kebenarannya, tetapi juga sentralisasi kekuasaan negara. Gerakan ini mereformasi Islam agar sesuai dengan standar internasional.
Ketika Ahmad meninggal dunia, penggantinya, Mahdi Abdullah, mengubah kepemimpinan dari corak karismatik ke revolusioner dan mendirikan negara konvensional. Ia sendiri menyatakan bahwa negara tersebut adalah negara Islam. Pada 1898, terjadilah perang Omdurman antara Mesir dan pasukan Mahdi.
Perang itu memicu munculnya kondominium atau wilayah kekuasaan bersama Mesir-Inggris. Pada 1924, terjadilah gerakan nasionalis sekuler yang membawa kemerdekaan Sudan. Negeri itu merdeka pada 1956. Namun, kemerdekaan negara ini menimbulkan persoalan baru di masyarakat. Ada yang berkomitmen terhadap konsep Islam sebagai identitas bangsa dan ada pula pihak militer yang berkomitmen pada kebangsaan.
Pangkal permasalahan ini berasal dari reformasi Islam dan penyatuan wilayah utara-selatan yang dominan beragama non-Islam. Kesenjangan yang terjadi antara utara dan selatan sangatlah nyata. Di utara Sudan tinggal penduduk mayoritas keturunan Arab dan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar.
Sementara itu, selatan Sudan dihuni oleh bangsa Negro yang berasal dari beragam suku. Kesenjangan yang berkepanjangan ini menyebabkan terjadi dua kali perang saudara. Perang ini menyebabkan Sudan Selatan memerdekakan diri dari Republik Sudan pada 9 Juli 2011.