REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Arif Supriono, Wartawan Republika
ISTANBUL -- Buka puasa bersama di area masjid di Istanbul, Turki, merupakan pemandangan yang jamak. Beberapa masjid besar bahkan senantiasa menyediakan menu buka puasa gratis. Mereka yang menikmati menu buka puasa ini biasanya para manula. Tidak terlihat adanya anak-anak yang ikut bergabung untuk buka puasa bersama.
Suasana Ramadhan memang lebih terlihat di lingkungan masjid-masjid. Spanduk ucapan menyambut Ramadhan sepertinya hanya terpampang di sekitar masjid. Kalimat yang biasa tertulis adalah ‘Hayirli Ramazanlar Dilerim’. Kalimat itu kurang-lebih berarti: Semoga Ramadhan Membahagiakan.
Di jalanan, praktis tak ada ucapan selamat Ramadhan. Begitu pun di pertokoan atau gedung instansi pemerintah, spanduk ucapan yang terkait dengan bulan Ramadhan sama sekali tak terlihat. Di pertokoan juga sama. Pesta diskon menyambut bulan Ramadhan yang lazim kita lihat di sini, malah tidak ada gema dan sambutannya di pertokoan-pertokoan di sana.
Bagian depan Masjid Haci Bulen Veziroglu, Istanbul, Turki/ Republika/Arif Supriono
Siang itu pada puasa hari kedua, saya bersama Ustaz Abdul Kaafi dan Itsna Fasta dari (TransTV), hendak menjalankan shalat Jumat. Kami berjalan kaki dari hotel menuju masjid kecil Haci Bulen Veziroglu yang berjarak sekitar 400 m dari hotel. Kecuali ada suara azan, bangunan itu sama sekali tak tampak sebagai sebuah masjid.
Dari luar, masjid itu hanya tampak sebuah pintu masuk seukuran rumah biasa di negara kita. Posisi masjid berjajar dengan ruko lainnya sehingga sekilas tak ada bedanya. Meski demikian, di beberapa sudut masjid ada CCTV.
Oh ya, jangan lupa siapkan uang satu lira (mata uang Turki) jika ingin buang air kecil. Untuk menuju toilet, ada penghalang, seperti saat kita mau masuk stasiun kereta api di Jabodetabek atau di mal-mal. Papan penghalang itu akan dapat diputar dan kita bisa masuk ke toilet bila sudah memasukkan uang koin satu lira.
Masjid itu terdiri dari dua lantai. Total jamaah yang bisa tertampung sekitar 150 orang. Pengurus masjid lalu mempersilakan jamaah untuk melaksanakan salat sunah tahiyatal masjid (ketika masuk masjid) dua rakaat dan qobliyatal Jumat juga dua rakaat. Setelah itu azan berkumandang dan kemudian diikuti dua kali khotbah dalam bahasa Turki.
Usai khotbah, terdengarlah iqomah (komat) yang lafalnya berbeda dengan kebiasaan di negara kita. Bunyi iqomah sama seperti azan lalu ditambah qadqaamatishshalah-qadqamatishshalah, allahhu akbar, allahu akbar, laa ilaaha illallah.
Jamaah shalat Jumat nyaris semuanya orang dewasa dan saya perkirakan berusia di atas 20 tahun. Saat ucapan ‘aamiin’, suara jamaah pun terdengar lembut saja. Selesai shalat saya amati di lantai atas dan bawah, hanya ada satu anak kecil bersama ayahnya.
Mengapa tak ada anak kecil atau remaja, seperti yang jamak terjadi di Indonesia? Menurut petugas yang mendampingi kami, Sinol Ogru, agama memang tidak diajarkan di sekolah-sekolah.
“Pelajaran agama di sini tergantung pada keluarga. Kalau ingin memahami agama, biasanya diajarkan orang tuanya atau sang anak dimasukkan sekolah madrasah,” papar Sinol. Bisa jadi, hal ini pula yang menyebabkan jamaah masjid sepi dari anak kecil.