REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Langkah bank Indonesia menaikkan suku bunga acuannya BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI 7 RRR) hingga 50 basis poin (bps) dinilai tepat. Hal itu untuk memberi sinyal jelas bagi pelaku pasar finansial bahwa BI siap menggunakan berbagai cara demi meredam tekanan terhadap kurs rupiah serta memperkecil volatilitas rupiah.
Hanya saja, Pengamat Ekonomi dari Asian Development Bank Institute (ADBI) Eric Sugandi menilai, kenaikan itu relatif kecil magnitudenya. Maka meski mengurangi likuiditas namun dampaknya relatif terbatas terhadap likuiditas maupun pada pertumbuhan kredit.
"Dalam tiga tahun terakhir, BI sebenarnya sudah banyak mengeluarkan berbagai kebijakan moneter. Hal itu bertujuan melonggarkan likuiditas, di antaranya BI menurunkan suku bunga acuan sebelum kenaikan Mei 2018 lalu, BI pun menurunkan GWM (Giro Wajib Minimum), pelonggaran LTV (Loan to Value), dan lainnya," tutur Eric kepada Republika, Rabu (6/6).
Meski begitu, terkait pertumbuhan kredit, Eric menilai, kebijakan pelonggaran moneter oleh BI memang butuh waktu untuk terlihat hasilnya. Apalagi, kata dia, dalam kondisi ketika perbankan masih relatif konservatif dalam menyalurkan kredit.
"Beberapa bank sempat mengalami bad loans ketika harga komoditas jatuh dan pertumbuhan ekonomi tertekan. Demand (permintaan) terhadap kredit dari perusahaan-perusahaan juga belum tumbuh kuat," kata Eric.
Belum kuatnya permintaan kredit, kata dia, terutama berkaitan dengan tertekannya pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Dengan begitu dampak dinaikkanya BI 7 RRR jiga tidak bisa langsung terasa terhadap kredit.