REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kunjungan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Yahya Cholil Staquf atau akrab disapa Gus Yahya ke Israel telah menuai polemik. Ia datang atas undangan Dewan Hubungan Luar Negeri Israel atau The Israel Council on Foreign Relations (ICFR) pada 10-13 Juni lalu.
Kunjungan ini dinilai mengecewakan banyak pihak, termasuk rakyat Palestina. Selama ini, Gus Yahya yang dikenal sebagai tokoh agama dan pejabat Indonesia dihormati Komunitas Palestina Indonesia karena senantiasa mendukung perjuangan mereka untuk bebas daru penjajahan Israel.
Gus Yahya sudah menyatakan kunjungannya ke Israel sebagai atas nama pribadi. Ia tidak mewakili posisinya sebagai anggota Wantimpres dan Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Baca Juga: Yahya Staquf: Kontroversi ke Israel Bawa Pesan Toleransi
Dalam kegiatan di Israel sebagai pembicara, Gus Yahya menyampaikan beberapa hal di forum dialog yang dimoderatori oleh International Director of Interreligious Affairs AJC Rabi David Rosen. Berikut beberapa hal yang ia sampaikan dikutip dari NU Online:
Pertama, Gus Yahya berkunjung ke Israel mengikuti jejak mantan presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang pernah datang ke negara itu sebanyak tiga kali. Ia mengaku sangat beruntung dapat tumbuh dan mengikuti jejak sang guru.
Kedua, Gus Yahya memiliki visi dan idealisme dalam kunjungannya seperti halnya Gus Dur. Ia mengatakan, keberlangsungan umat manusia dapat dicapai dalam jangka waktu yang sangat panjang. Karena itu, sebagai seorang murid, ia merasa telah mecapai titik tertentu di mana dapat melihat arah yang lebih jelas.
Ketiga, Gus Yahya berkomentar mengenai hubungan istimewa antara Yahudi dan Islam yang telah berjalan ratusan tahun. Menurut dia, ini adalah hubungan yang fluktuatif, terkadang baik dan terkadang konflik.
Ia mengakui ada masalah dalam hubungan dua agama ini. Salah satu sumbernya adalah dalam ajaran agama itu sendiri.
Gus Yahya menyampaikan, dalam konteks realitas saat ini, kaum beragama, baik Islam maupun Yahudi, perlu menemukan cara baru. Pertama, memfungsikan agama dalam kehidupan nyata. Kedua, menemukan interpretasi moral baru yang mampu menciptakan hubungan yang harmonis dengan agama-agama lain.
Keempat, Gus Yahya menjawab pertanyaan mengenai apakah perlu dan mungkin dilakukan intrepretasi ulang terhadap teks Alquran dan hadis sebagai upaya untuk menghilangkan penghalang bagi terciptanya hubungan baik antara Islam dan Yahudi. Ia mengatakan bahwa hal itu bukan hanya mungkin tetapi harus dilakukan.
Menurut Gus Yahya, setiap ayat dari Alquran diturunkan dalam konteks realitas tertentu, dalam masa tertentu. Nabi Muhammad SAW dalam mengatakan sesuatu juga selalu disesuaikan dengan situasi yang ada pada saat itu.
Dengan demikian, Alquran dan hadis adalah pada dasarnya dokumen sejarah yang berisi panduan moral dalam menghadapi situasi tertentu. Ketika situasi dan realitasnya berubah, manifestasi dari moralitas tersebut sudah seharusnya berubah pula.
Kelima, Gus Yahya menekankan pentingnya memerangi ektremisme dan mempromosikan pendekatan lebih humanis. Ia menjawab pertanyaan apakah Indonesia memiliki sesuatu yang dapat diberikan pada dunia dalam kaitannya dengan hal itu.
Menurut Gus Yahya, itu bukanlah tentang menawarkan sesuatu dari Indonesia. Tanah Air belum terbebas dari masalah, tetapi memiliki semacam kearifan lokal yang membantu masyarakat untuk hidup secara harmonis dalam lingkungan yang heterogen.
Ia juga mengatakan masih banyak masalah mengenai agama di Indonesia, termasuk Islam. Apa yang dihadapi negara ini adalah sebuah situasi konflik dan agama dinilai hampir selalu digunakan sebagai senjata untuk menjustifikasi konflik.
"Sekarang saatnya kita bertanya, apakah kita ingin hal ini berlanjut? Atau kita ingin memiliki masa depan yang berbeda?" ujar Gus Yahya dalam forum tersebut.
Ia kemudian menjawab, jika ingin hal itu berlanjut, konsekuensinya jelas, yakni tidak ada yang bisa bertahan hidup di dalam kondisi seperti ini. Jika manusia ingin masa depan yang berbeda, semua pihak harus mengubah cara mengatasi persoalan.
Saat ini, agama digunakan sebagai justifikasi dan senjata untuk berkonflik. Kaum beragama, menurut dia, harus bertanya pada diri sendiri.