Kamis 05 Jul 2018 21:45 WIB

Soal PKPU, Perludem: Parpol Jangan Lakukan Kebohongan Publik

Perludem meminta parpol berkomitmen pada pakta integritas soal PKPU.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Bayu Hermawan
Direktur Perludem Titi Anggraini
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Direktur Perludem Titi Anggraini

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai politik yang tetap menyertakan mantan narapidana korupsi dalam pendaftaran bakal calon anggota legislatif dinilai menodai pakta integritas yang ditandatangani setiap parpol. Sebab pakta integritas menjadi salah syarat pendaftaran bagi parpol untuk mendaftarkan bakal calon anggota legislatif ke KPU.

Pakta integritas tertuang dalam formulir B3-KWK yang ditandatangani oleh Ketua Umum Parpol dan Sekretaris Jenderal Parpol berisi pernyataan parpol untuk tidak mencalonkan mantan narapidana kasus korupsi, mantan bandar narkoba dan mantan pelaku kejahatan seksual kepada anak. Pakta integritas juga dibubuhi dengan materai untuk menegaskan kekuatan hukumnya.

"Jadi kalau pimpinan parpol secara sadar menandantangani pakta integritas dan ternyata dia tahu bahwa di dalam calon yang dia ajukan itu ada mantan napi tapi dia tetap tandatangan pakta berarti dia sudah melakukan kebohongan," ujar Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggaraini saat dihubungi Kamis (5/7).

Menurutnya, kejujuran integritas dan komitmen pimpinan partai politik diuji manakala ia menandatangani pakta integritas sebagai syarat untuk mendaftarkan pasangan calon. Sebab tanpa adanya dokumen pakta integritas tersebut, maka pengajuan bakal caleg tidak akan diterima KPU.

Namun dalam perkembangannya, Titi menilai ada upaya parpol untuk tetap menyelipkan mantan napi korupsi menjadi caleg dalam pendaftaran. Menurutnya, jika ini terjadi harus ada pertanggungjawaban hukum dari parpol maupun pimpinannya atas ketidaksesuaian antara pakta integritas dengan implementasi di lapangan.

"Kalau sampai pimpinan parpol menandatangani pakta integritas untuk tidak mencalonkan mantan napi tapi secara sadar ia mencalonkan napi korupsi berarti secara terbuka itu sudah menunjukan kebohongan, biar masyakat menilai," ujar Titi.

Titi menegaskan, pakta integritas adalah aturan yang mengikat bagi parpol karena telah ditandatangani oleh pimpinan parpol itu sendiri.

"Bagaimana mungkin parpol menandatangani pakta tapi tetap menyertakan orang yang tidak seusai isi pakta, itu kan kebohongan publik, itu menunjukan integritas elit pimpinan dan parpolnya," ujar Titi.

Karena itu, ia meminta KPU tegas dalam memverifikasi bakal caleg yang diajukan parpol dan tetap mengacu pada PKPU 20/2018 untuk tidak menerima mantan napi korupsi sebagai caleg. Meskipun dalam proses pendaftaran, KPU belun dapat memastikan apakah calon yang diajukan terdapat mantan napi korupsi.

"Ketika penerimaan berkas itu kan KPU dianggap belum tau dia mantan napi atau nggak karena otomatis ketika ada dokumen pakta integritas kan berarti pimpinan parpol menyatakan bahwa tidak da mantan napi. Tapi kalau ternyata di dalam verifikasi atau pemeriksaan itu si calon yang diajukan mantan napi korupsi dan Bandar narkoba KPU harus mencoret," ungkap Titi.

Mantan Komisoner KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan, upaya dibukanya celah mantan napi korupsi tetap bisa mendaftar menunjukan komitmen sejumlah untuk membuat Pemilu bersih dari korupsi masih lemah. "Memang semakin terlihat bahwa komitmen dpr dan termasuk bawaslu untuk menciptakan pemilu bersih  dan anti korupsi," ujarnya.

Hal itu dari peraturan pengundangan di UU Pemilu yang tidak mengatur soal mantan napi korupsi sehingga KPU yang kemudian menerapkan aturan tersebut.  "Saya kira pengaturan pengundangan oleh pemerintah telah memaksa KPU mengubah pengaturannya lebih merupakan "jebakan" sehingga KPU sulit untuk menerapkan peraturannya untuk menolak calon anggota dewan yang koruptor," ujar Hadar.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement