Kamis 12 Jul 2018 17:57 WIB

Bola Mati Memupus Mimpi Generasi Emas

Satu bola mati (yang membedakan hasil akhir). Itulah sepak bola

Prancis vs Belgia.
Foto: AP Photo/Pavel Golovkin
Prancis vs Belgia.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Frederikus Bata, Lintar Satria

Pupus sudah mimpi Belgia menggenggam trofi Piala Dunia 2018. Langkah skuat Iblis Merah terhenti di semifinal. Menghadapi Prancis di Saint Petersburg Stadium, Rusia, Rabu (11/7) dini hari WIB, Eden Hazard dan rekan-rekan kalah 0-1.

Suasana muram tampak di Brussel, ibu kota Belgia, selepas kekalahan itu. Ribuan warga yang menonton bersama di pusat kota tampak lesu di tengah cuaca yang lembap. Harapan tinggi mereka bahwa "generasi emas" mampu membawa pulang Piala Dunia kandas.

Kendati demikian, mereka menyimpan sekutip kebanggaan terkait cara Belgia bermain bola dengan indah. "Kami bermain sangat baik sehingga kami tidak bisa kesal terhadap Prancis," kata Tshekina Tahibangu (19 tahun), seperti dilansir CNN.

Perdana Menteri Belgia Charles Michel juga menyampaikan sentimen serupa dalam kicauannya di Twitter. "Ini torehan yang fantastis. Terima kasih untuk daya tahan dan keberaniannya! Segala hormat untuk iblis-iblis merah kami."

Sementara itu, kemenangan Prancis atas Belgia memunculkan pemandangan yang mirip dengan saat tim tersebut memenangkan Piala Dunia 1998 di negara tersebut. AFP melaporkan, jalan utama menuju alun-alun utama Paris, Champs-Élysées, dipenuhi ratusan ribu warga yang bersuka cita.

"Kami masuk final," itu diteriakkan warga sembari menari-nari dan melambaikan bendera negara tersebut. Presiden Emmanuel Macron juga meminta para penggawa timnas Prancis membawa pulang Piala Dunia dalam pertandingan Ahad (15/7) nanti.

Hasil pertandingan itu memang menyakitkan jika melihat penampilan impresif anak asuh Roberto Martinez di Rusia. Belgia merupakan tim tersubur sejauh ajang tersebut berjalan.

Sebelum tahapan empat besar, Romelu Lukaku cs telah mencetak 14 gol dari lima partai. Jika dirata-ratakan, 2,8 gol per pertandingan. Namun, kedahsyatan Iblis Merah tidak mampu menembus pertahanan Les Bleus.

Sebuah tandukan Samuel Umtiti pada menit ke-51 memanfaatkan umpan sepak pojok Antonie Griezmann, cukup untuk membunuh mimpi Belgia. "Satu bola mati (yang membedakan hasil akhir). Itulah sepak bola," sesal gelandang Kevin De Bruyne, mengutip Four Four Two, Rabu (11/7).

Sah-sah saja argumentasi De Bruyne. Nyaris sepanjang laga, Belgia mendominasi. Negara berperingkat ketiga FIFA itu menguasai bola hingga 60 persen. Sementara, Prancis kebagian sisanya. Belgia melepaskan 565 operan akurat berbanding 294 milik Les Bleus.

Namun, dalam hal tembakan ke arah gawang, efektivitas lebih diperlihatkan Prancis. Pasukan Didier Deschamps memiliki lima tembakan ke gawang berbanding tiga milik Belgia. Dari sederet percobaan tersebut, satu berujung gol. "Perbedaan antara kemenangan dan kekalahan adalah situasi bola mati. Anda harus menerima, dan mengucapkan selamat kepada Prancis," ujar Roberto Martinez, dikutip dari laman FIFA.

Pelatih berkebangsaan Spanyol ini membuat perubahan di lini tengah jika dibandingkan dengan saat timnya menghadapi Brasil. Saat kontra Selecao, Martinez cuma memainkan dua gelandang bertahan, Axel Witsel dan Maroune Fellaini.

Penumpukan terjadi di penyerangan sayap, ada De Bruyne serta Hazard yang melebar. Mereka dibantu Nacer Chadli yang bermain apik di sisi kiri luar. Terlihat sebuah skema serangan balik cepat diperagakan iblis merah.

Sementara, ketika berhadapan dengan Prancis, ada penumpukan di sektor gelandang. Selain Fellaini dan Witsel, muncul Mousa Dembele. Terlihat keinginan Martinez ingin meladeni lini tengah Les Blues. Strategi tersebut sebenarnya berhasil ketika Jan Vertonghen cs menguasai pertandingan. Namun, lagi-lagi bola mati mengubah semuanya.

Secara keseluruhan, perjalanan Belgia di Rusia patut diacungi jempol. Mereka menyudahi perlawanan Brasil di perempat final. Ini skuat yang disebut-sebut sebagai generasi emas negara tersebut. Kumpulan pemain ini pernah membawa Les Diables Rouges berada di peringkat pertama FIFA pada November 2015 hingga Maret 2016.

Kiper Belgia Thibaut Courtois juga mengkritik gaya permainan Prancis pada pertandingan semifinal tersebut. Ia menilai Prancis memainkan gaya antisepak bola. Menurut dia, para penyerang Prancis kerap bermain 30 meter dari gawang mereka sendiri.

"Prancis mendapatkan tendangan sudut dan tidak ada lagi yang mereka lakukan selain bertahan, saya lebih baik kalah di perempat final dari Brasil, setidaknya tim itu ingin bermain sepak bola," ujar Courtois.

Sebaliknya, pelatih Prancis Didier Deschamps menampik bahwa mereka lolos berdasarkan keberuntungan. Menurut Deschamps, perkembangan para pemain semakin kuat dalam dua tahun hingga empat tahun belakangan. "Hari ini mereka sudah kompetitif. Kami tidak selalu melakukan sesuatu dengan benar, tetapi tentu saja ada kemajuan," ucap Deschamps selepas pertandingan.

Bagaimanapun, kepedihan yang ditorehkan gol dari bola mati bukan hanya mala Belgia semata. Gol-gol yang dirancang memanfaatkan bola mati bukan sekali ini saja membunuh harapan tim-tim yang bermain lebih atraktif di Piala Dunia kali ini. Hampir seluruh tim-tim Afrika yang berlaga dengan gagah berani dan atraktif sepanjang fase grup juga gagal mengantisipasi bola-bola mati dan gagal lolos ke babak selanjutnya.

photo
Pemain Prancis merayakan kemenangan atas Belgia dalam laga semifinal Piala Dunia di Saint Petersburg, Selasa (10/7) waktu setempat,

Piala dunia kali ini memang mencatat peningkatan tak biasa jumlah gol-gol dari bola mati. Gol yang mengandaskan Belgia kemarin adalah yang keempat untuk Prancis sepanjang kompetisi ini. Ia juga merupakan yang ke-69 dari total 158 gol yang telah tercipta. Jumlah gol dari bola-bola mati itu adalah yang paling banyak sepanjang sejarah Piala Dunia.

Sepanjang fase grup Piala Dunia 2014, misalnya, the Telegraph mencatat bahwa hanya 28 persen gol tercipta melalui set pieces. Sedangkan, pada fase grup tahun ini, sebanyak 43 persen goal tercipta dari titik penalti, tendangan sudut, tendangan bebas, maupun lemparan ke dalam.

Jadi, apa yang membuat gol-gol dari bola mati begitu jamak pada piala dunia kali ini? Salah satunya adalah penerapan video assistant referee (VAR). Tanpa penerapan teknologi itu, akan lebih sedikit penalti yang tercipta pada piala dunia. Dalam sejumlah insiden di Piala Dunia kali ini, wasit harus menganulir kepu tus annya tidak memberikan hadiah penalti setelah melihat kejadian sebenarnya di layar kaca.

Selain itu, gol-gol dari tendangan bebas tak langsung maupun tendangan sudut juga efektif mengingat waktu persiapan timnas yang tak sedemikian panjang dibanding kan klub-klub sepak bola. Pertahanan-pertahanan yang belum sempat diorganisasi dengan mudah menjadi bulan-bulanan tim yang sudah melatih secara mendalam eksekusi bola mati mereka. n ed: fitriyan zamzami

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement