REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Abdullah meyakini pensiunnya Hakim Agung Artidjo Alkostar tidak akan menimbulkan pengaruh apapun di kalangan hakim agung yang lain. Menurutnya, tiap hakim memegang komitmen dan kemandiriannya masing-masing dalam memutus perkara.
“Jadi, percayalah dengan MA. Pak Artidjo selama ini memutus bukan putusannya sendiri," kata dia kepada Republika.co.id, Senin (16/7).
Abdullah menjelaskan, putusan dalam sebuah perkara dijatuhkan tidak hanya oleh satu hakim, tetapi majelis. Saat Artidjo membuat putusan 'mengerikan' kepada terdakwa kasus korupsi, sebetulnya itu putusan yang dihasilkan majelis.
"Jadi itu bukan keputusan pribadi Pak Artidjo. Tiap hakim punya kemandirian sendiri-sendiri. Tiap memutus perkara pasti ada pertimbangan individual yang dibawa ke sidang musyawarah. Kalau memang anggota 1 dan 2 punya persamaan, itu kan majelis, bukan sendiri-sendiri," katanya.
Bila perkaranya tergolong besar, papar Abdullah, tentu hakim yang menanganinya bisa lebih dari satu orang. "Memutus perkara juga tergantung perkaranya. Kalau perkaranya besar bisa lima orang, tidak sendiri," kata dia.
Hakim Agung sekaligus Ketua Kamar Pidana MA, Artidjo, pensiun pada 22 Mei yang lalu. Seusai Artidjo pensiun, beberapa terpidana korupsi mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Mereka adalah Anas Urbaningrum, Suryadharma Ali, Siti Fadilah Supari, Andi Zulkarnain Mallarangeng alias Choel, Jero Wacik, dan Muhammad Sanusi.
Vonis Sangar Artidjo.
Kalangan aktivis antikorupsi menganggap ini sebagai cara mereka memanfaatkan pensiunnya Artidjo agar mendapatkan keringanan hukuman. Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Hifdzil Alim, menilai pengajuan PK tersebut kemungkinan terkait dengan pensiunnya Artidjo.
Hifdzil memandang para pemohon PK itu hendak memanfaatkan kondisi pensiunnya Artidjo. "Saya kira ada kemungkinan PK itu diajukan dengan pensiunnya beliau. Hal ini menandakan, para pemohon PK seperti ingin memanfaatkan keadaan itu," ujar dia.
Praktisi Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai, PK dari beberapa terpidana kasus korupsi itu berkaitan dengan pensiunnya Artidjo. "Karena jika memang ada novum (keadaan baru), mengapa tidak diajukan jauh hari sebelum Artidjo pensiun," ujar dia.
Terlebih, jika para terpidana korupsi itu mengajukan PK sebelum Artidjo pensiun, dipastikan bahwa hakim yang mengadilinya bukan Artidjo lagi. Karena, hakim tidak boleh mengadili perkara yang sama untuk kedua kalinya.
Fickar beranggapan, para terpidana korupsi itu khawatir dengan keberadaan Artidjo di MA sebagai Ketua Kamar Pidana karena secara tak langsung mempengaruhi vonis-vonis pidana yang dijatuhkan termasuk vonis PK. Sehingga, sangat mungkin hakim agung lain terpengaruh oleh kewibawaan Artidjo.
"Jadi, bukan dalam artian para terpidana korupsi itu takut perkaranya ditangani Artidjo. Tapi khawatir pada kewibawaan dan pengaruh semangat Artidjo. Sangat mungkin para koruptor beranggapan Artidjo masih bisa memengaruhi pikiran hakim agung lain (saat belum pensiun). Karena itu, setelah pensiun baru (PK) diajukan," kata dia.