Ahad 22 Jul 2018 13:33 WIB

Tujuan Sebuah Pernikahan

Terjaganya mahligai perkawinan tak bisa terlepas dari pemenuhan kewajiban dan hak.

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Pasangan Suami Istri yang sudah menikah dan mempunyai 6 anak  bersiap mengikuti acara Nikah Gratis yang diselanggarakan di Kejaksaan Agung RI, Jakarta, Kamis (19/7).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Pasangan Suami Istri yang sudah menikah dan mempunyai 6 anak bersiap mengikuti acara Nikah Gratis yang diselanggarakan di Kejaksaan Agung RI, Jakarta, Kamis (19/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Naskah kitab yang ditulis oleh salah satu ulama terkemuka, guru ulama Nusantara, Syekh Kholil Bangkalan ini, berupa format PDF. Naskah aslinya dicetak atas pembiayaan Awadh bin Abdullah at-Tamimi. Secara umum, pembahasan kitab yang membahas tentang hal-ihwal pernikahan ini, memang tak jauh beda dengan kitab yang sama, di topik yang serupa pula, yang jamak ditulis oleh ulama.

Hanya, tentu yang menarik adalah, kitab setebal 96 halaman ini tipis memang, ditulis oleh tokoh asli Nusantara, putra asli Bangkalan, Madura. Sayangnya memang, syarah kitab ini ditulis dengan bahasa Madura. Tertulis pada sampul kitab ini, sang penyarah bernama Abdul Majid Tamim, asal Pamekasan.

Membaca karya Sang Maestro kelahiran 27 Januari 1820 M di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, ini me mang memunculkan kesimpulan bahwa kitab ini singkat dan padat, tetapi tidak mengurangi jangkauan pembahasan terkait tema pernikahan.

Tak ada ulasan panjang dalam pen dahuluan kitab, hanya diawali dengan kalimat hamdalah dan basmalah. Juga tidak ada uraian tentang sistematika, tarikh, atau identitas yang sering kita temui dalam kitab- kitab lainnya. Barangkali, simplikfikasi ini bertujuan untuk memudahkan pengkajian, itu saja. Hal itu juga mengapa uraian dalam kitab ini memakai format tanya jawab.

Mengawali kitabnya tersebut, Syekh Kholil menjelaskan, hal yang paling krusial dalam pernikahan, yaitu tentang definisi nikah menurut istilah syariat. Nikah, adalah terlak sananya akad yang membolehkan per setubuhan antara laki-laki dan perempuan.

Akad tersebut menggunakan pola instruksional (tazwij/inkah),yaitu lafal menikahkan kepada kedua calon mempelai. Bagaimana dengan hukum menikah?

Syekh Kholil menjabarkan, pemberlakuan hukum menikah tak bisa dipukul rata. Tiap individu memiliki tingkat urgensinya masing-masing. Nikah bisa berlaku wajib bagi mereka yang mempunyai kemampuan seksual dan jika tak segara menikah, dikhawatirkan akan terjerumus dalam perkara keji.

"Jika alat vital sudah kuat, maka penglihatan tak terkendali dan hilanglah kehati-hatian, tulis Syekh Kholil mengutip sebuah ungkapan yang beredar di kalangan masyarakat Arab klasik.

Hukum nikah bisa berubah haram bila pasangannya termasuk mahram (mereka yang haram dinikahi karena hubungan darah) dan menikah dengan perempuan yang masih dalam masa iddah. Namun, hukum nikah pada dasarnya adalah sunah.

Ini berlaku, misal bagi mereka yang mempunyai kemampuan seksualitas dan tidak khawatir terjerumus dosa, tetapi dia belum menemukan ketenangan batin.

Lalu, apa maksud dan tujuan sebuah pernikahan? Menurut Syekh Kholil yang pernah berguru kepada Syekh Imam Nawawi al-Bantani selama di Makkah tersebut, ada tujuan yang lebih mulia dan utama dari sekadar pelampiasan nafsu, yaitu pernikahan adalah sebuah ikhtiar membentengi pan dangan mata (ghaddhul bashar)atas apa yang diharamkan kepada kita.

Dan, yang tak kalah penting, pernikahan adalah sarana dan media syar'i memperoleh keturunan saleh dan salehah yang kelak akan mendoakan kita selama masih hidup, atau setelah ajal menjemput.

Syekh Kholil juga mengingatkan tentang perkara yang bisa membatalkan pernikahan, yaitu ada dua poin yang pertama tidak terpenuhinya salah satu rukun atau syarat pernikahan. Apa saja rukun menikah, yakni keberadaan mempelai laki-laki dan perempuan, wali, dua saksi, dan pernyataan pe r nikahan (shighat).

Kedua, perkara yang membatalkan hubungan pernikahan adalah murtadnya salah satu dari mempelai. Hak dan kewajiban Terjaganya mahligai perkawinan tak bisa terlepas dari pemenuhan kewajiban dan hak masing-masing pasangan.

Menurut Syekh Kholil, ada lima kewajiban seorang suami kepada istrinya, yaitu kewajiban membayar mahar, memberikan nafkah (baik lahir atau batin), menyediakan sandang, menyediakan tempat tinggal, dan memperlakukan istri dengan perlakuan sebaik-baiknya.

Kemudian, Syekh Kholil yang bermazhab Syafi'i ini juga membeberkan kewajiban yang mesti dilaksanakan istri terhadap suaminya. Kewajiban tersebut ada tiga, yaitu menaati jiwa dan raga dalam segala perkara yang diperbolehkan Allah SWT, hendaknya tidak melakukan puasa tanpa seizin suami dan tidak keluar rumah juga tanpa restu suami.

Syekh Kholil menggarisbawahi, haram hukumnya bagi suami melarang istri atas perkara yang wajib, seperti melaksanakan shalat lima waktu, atau perintah agama lainnya. Dan ingat, kata Syekh Kholil, haram pula bagi perempuan berlaku sewot (nusyuz)berpaling dari suami. Tindakan tersebut justru bisa menggugurkan apa yang memang men jadi hak sang istri sampai yang bersangkutan kembali lagi menaati suaminya.

Dan, camkan wahai para suami, kewajiban mendasar terhadap istri adalah mengajarkan prinsip dan dasar-dasar agama baik yang terangkum dalam rukun Islam maupun rukun iman. Allah SWT berfirman, "Dan, bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian, bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.(QS an-Nisaa' [4]:19).

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement