Kamis 26 Jul 2018 19:52 WIB

'Perang Dingin' SBY-Mega, Hasto Ungkit Kasus Kudatuli

Hasto hari ini mengunjungi Komnas HAM menuntut penuntasan kasus Kudatuli.

Rep: Arif Satrio Nugroho, Farah Noersativa/ Red: Andri Saubani
Sekertaris Jenderal  PDIP, Hasto Kristiyanto  memberikan sambutan dalam  pembukaann  kaderisasi PDI Perjuangaan di DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta, Senin (9/7).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Sekertaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto memberikan sambutan dalam pembukaann kaderisasi PDI Perjuangaan di DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta, Senin (9/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mendatangi Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) untuk menuntut dituntaskannya kasus pelanggaran HAM berat Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kudatuli) 1996. Setelah 22 tahun berlalu kasus tersebut tak kunjung tuntas, Hasto kembali mengungkit peran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait kasus itu.

Hasto meminta SBY agar terbuka memberikan informasi mengenai kasus tersebut. Mengingat, saat itu SBY yang masih berpangkat Brigadir Jenderal TNI memegang posisi sebagai Kepala Staf Komando Daerah Militer Jakarta Raya (Kasdam Jaya).

"Bapak Susilo Bambang Yudhoyono daripada terus bicara tentang koalisi partai, lebih baik juga berbicara tentang arah masa depan bangsa ini dengan membuka apa yang sebenarnya terjadi," ujar Hasto di Komnas HAM, Jakarta, Kamis (26/7).

Sikap Hasto ini disampaikan di saat calon wakil presiden (cawapres) untuk capres PDIP, Joko Widodo (Jokowi), tak kunjung diumumkan menjelang pendaftaran capres dan cawapres pada 4 Agustus 2018 mendatang. Partai Demokrat, yang merupakan partai SBY tak kunjung merapat ke PDIP lantaran masih abu-abunya kandidat cawapres dari partai berlogo banteng moncong putih ini.

Hingga era pemerintahan Presiden Jokowi saat ini, masih banyak kasus pelanggaran HAM yang tak tuntas. Hasto pun menyoroti kasus Kudatuli sebagai salah satu kasus pelanggaran HAM berat yang merobek demokrasi Indonesia.

Saat itu, Megawati Soekarnoputri terpilih sebagai ketua umum PDIP. Lalu menyusul kejadian Kudatuli, yakni pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan yang diduga dibantu oleh aparat dari kepolisian dan TNI.

Peristiwa ini meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta, khususnya di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, Kramat. Beberapa kendaraan dan gedung terbakar.

Hasil penyelidikan Komnas HAM, lima orang meninggal dunia, 149 orang sipil maupun aparat luka-luka, 136 orang ditahan. Komnas HAM juga menyimpulkan telah terjadi sejumlah pelanggaran HAM.

"Kami tahu korbannya begitu banyak tapi ditutupi oleh rezim yang berkuasa, dan yang menjadi saksi saat itu adalah bapak Susilo Bambang Yudhoyono," ucap Hasto.

Hasto mengaku memahami bahwa seluruh prajurit TNI Polri saat itu, termasuk SBY dan seluruh jajarnnya, mengemban kebijakan poltik yang menurut Hasto otoriter. Kehadirannya ke Komnas HAM pada Rabu (26/7) ini pun ia harapkan agar dapat memunculkan langkah politik dan hukum untuk penuntasan kasus, serta rekonsiliasi bagi para korban.

"Kedatangan kami ini diharapkan diperoleh langkah politik langkah hukum dan penanganan bagi korban dan bagaimana juga bamgsa ini membangun proses rekonsiliasi agar kejadian itu tidak terjadi kembali," ucap Hasto.

Wasekjen Demokrat, Renanda Bachtar menilai, pernyataan-pernyataan Hasto terkait hubungan antara SBY dan Megawati, berlebuihan.

“Pernyataan Mas Hasto, Sekjen PDIP, hari ini juga agak berlebihan. Menyatakan kalau ‘tidak ada kok masalah atau hambatan dalam berkomunikasi antara Bu Mega dan Pak SBY. Pak SBY itu selalu itu, setiap mau pemilu pasti seperti itu’. Lalu soal hubungannya dengan Ibu Megawati. Pernyataan Mas Hasto ini akan ditertawakan oleh orang di seluruh Indonesia,” ungkap Renanda saat dihubungi Republika, Kamis (26/7).

Sebab, dia mengatakan, semua orang telah mengetahui memang ada masalah di dalam hubungan antara SBY dan Megawati. Hal itu pula, kata dia, yang menjadi salah satu alasan rintangan untuk bergabung mendukung koalisi yang mengusung capres Joko Widodo.

“Bukan masalah dengan Pak Jokowi. Kalau dengan Pak Jokowi ini, ya ini smooth ya,” tutur Renanda. Dia menyebut, pertemuan SBY dengan Jokowi di istana selalu hangat.

Sementara, menurutnya, SBY selama ini selalu berusaha untuk mencairkan hubungan antara SBY dan Megawati. Hal itu, kata dia, diusahakan oleh SBY seperti dengan mengirimkan surat dan dengan cara-cara lainnya.

“Karena kita tahu sebelumnya, Pak SBY itu selalu kirim surat tapi tidak dijawab, nggak direspons, sampai dibilang baper-lah, dibilang apalah. Padahal ya itu untuk membangun komunikasi mengenai bangsa ini. demi rakyat, itu. Mengenyampingkan masalah pribadi dan segala macam,” jelas Renanda.

Dia menjelaskan, hubungan yang kurang cair itu biasanya selalu dijembatani oleh mendiang suami Megawati, Taufik Kemas. Namun, usai ketiadaannya, belum ada figur yang bisa menjembatani dua petinggi partai itu.

Nah pada akhirnya hubungan itu semakin sulit untuk cair. Dan Mas Hasto tahu persis itu. Jadi apa yang disampaikan Mas Hasto itu ya, saya rasa sulit diterima akal sehat rakyat Indonesia bahwa hubungan Pak SBY dan Ibu Mega itu baik-baik saja. Siapa yang setuju itu? Saya rasa PDIP pun tidak setuju dengan itu,” ujarnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement