Sabtu 28 Jul 2018 01:22 WIB

Pengamat: Pengaduan PDIP Soal Kudatuli Bisa Jadi Bumerang

Lambannya pengungkapan Kudatuli menunjukkan kegagalan pemerintah Megawati dan Jokowi

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristyanto mendatangi Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) untuk menuntut dituntaskannya kasus pelanggaran HAM berat Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kudatuli) 1996. Komnas HAM, Jakarta. Rabu (26/7).
Foto: Republika/Arif Satrio Nugroho
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristyanto mendatangi Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) untuk menuntut dituntaskannya kasus pelanggaran HAM berat Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kudatuli) 1996. Komnas HAM, Jakarta. Rabu (26/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat Politik dari Universitas Indonesia, Hurriyah menilai, pengaduan PDIP ke Komisi Nasional Hak Asasi Mausia (Komnas HAM) untuk segera menuntaskan peristiwa 27 Juli 1996 atau dikenal Kudatuli memiliki unsur kepentingan politik. Tapi, pengaduan ini akan menjadi bumerang apabila memang dilakukan atas perintah dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Efek bumerang tidak hanya mengarah ke PDIP, melainkan ke personal Megawati hingga Joko Widodo, kader partai yang diusung menjadi capres pada pemilihan presiden (pilpres) 2019. Pasalnya, Kudatuli ini merupakan kasus yang saling bersinggungan, tidak terkecuali pada Megawati.

"Terduganya, ada dua pihak yang dianggap bertanggung jawab, yakni Sutiyoso dan SBY. Keduanya adalah orang yang diangkat menjadi gubernur dan menteri ketika Megawati menduduki posisi presiden," ujar Hurriyah ketika dihubungi Republika, Jumat (27/7).

Melihat fakta tersebut, pengaduan PDIP yang juga meminta Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengungkap dan bersaksi terkait tragedi Kudatuli justru menjadi terkesan lucu. Sebab, apabila sudah diketahui SBY patut bertanggung jawab, mengapa ia justru diangkat menjadi menteri di era kepemimpinan Megawati.

Singgungan kedua berkaitan dengan fraksi PDIP sendiri. Ketika ada upaya pengusutan dari Polri, tidak ada respon signifikan pada masa pemerintahan Megawati. "Fraksi PDIP juga tidak pernah mengusulkan pengusutan ketika di parlemen," ujar Hurriyah yang merupakan wakil direktur eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI itu.

Terakhir, pengaduan juga akan menjadi serangan balik untuk Jokowi. Dalam nawacita-nya, Jokowi sempat membuat pernyataan akan mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM, meski ternyata tidak dapat diselesaikan.

Hurriyah juga mempertanyakan, kenapa kasus bernuansa pelanggaran HAM yang diangkat hanya peristiwa Kudatuli semata. Kudatuli hanya satu dari sekian banyak kasus HAM yang seharusnya bisa diselesaikan pemerintah.

"Kalau diangkat lagi, ini justru menunjukkan kegagalan pemerintah Megawati, SBY hingga Jokowi untuk menyelesaikan kasus yang terjadi di masa lalu," ucapnya.

Pada Kamis (26/7), Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto datang bersama Ketua DPP PDIP Trimedya Panjaitan dan anggota Komisi III Fraksi PDIP Junimart Girsang ke Komnas HAM. Mereka bertemu dengan Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik.

Kedatangan Hasto tersebut untuk menuntut Komnas HAM segera menuntaskan peristiwa Kudatuli. Diketahui, peristiwa itu terjadi ketika peristiwa ambil alih paksa kantor PDI kubu Megawati oleh kubu Soerjadi pada 27 Juli 1996.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement