REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Usai sudah tim Badan Geologi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan kajian pascabencana gempa bumi di Solok, Sumbar. Tim berjumlah empat personel itu terdiri dari Akhmad Solikhin, Athanasius Cipta, Juanda, dan Sofyan Kurniawan. Hasilnya, penyebab kerusakan bangunan bukan didominasi faktor geologi lokal, namun lebih banyak karena buruknya kualitas bangunan.
Struktur bangunan rumah yang buruk bisa menjadi 'mesin pembunuh' saat gempa bumi terjadi. Mungkin pesan ini yang ingin disampaikan Badan Geologi Kementerian ESDM usai melakukan kajian pascabencana gempa bumi yang melanda Kabupaten Solok, Sumatra Barat pada Sabtu (21/7) sore lalu.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Solok menyebutkan, sebanyak 70 rumah rusak akibat gempa bumi berkekjuatan 5,4 pada Skala Richter (SR) akibat gempa bumi tersebut. Selain itu, tercatat juga satu orang korban meninggal dunia dan delapan orang korban luka akibat tertimpa reruntuhan bangunan.
Selama kurang lebih satu pekan penelitian lapangan di daerah terdampak bencana, tim dari Badan Geologi mencoba menggali lebih dalam korelasi antara faktor geologi lokal, termasuk jenis batuan yang merambatkan gelombang gempa, dan faktor lain yang ikut menyumbang parah-tidaknya kerusakan bangunan.
Kasubid Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Wilayah Barat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kemementerian ESDM, Akhmad Solikhin, menjelaskan bahwa pihaknya telah melakukan sejumlah survei geologi dan geofisika, seperti pengukuran mikrotremor untuk merekam sifat fisik batuan. Secara sederhana, sifat fisik batuan menggambarkan apakah jenis batuan di suatu lokasi justru akan 'memperparah' kekuatan gempa atau tidak.
"Jika batuan lunak, guncangan akan lebih teramplifikasi. Sebaliknya bila batuan padat dan keras, gelombang gempa tidak begitu teramplifikasi. Sederhananya itu," kata Akhmad dalam perbincangan singkat dengan Republika, baru-baru ini.
Selain mengkaji jenis batuan yang ada, para peniliti juga mencoba melihat lebih detil kualitas bangunan yang ada di wilayah terdampak gempa bumi. Kedua parameter ini kemudian disandingkan dengan parameter lainnya, termasuk magnitudo gempa, jarak pusat gempa, dan sejarah gempa bumi setempat untuk melihat periode perulangan.
Hasil penelitian awal menyebutkan, kerusakan yang terjadi di Kabupaten Solok lebih disebabkan oleh rendahnya kualitas bangunan, alih-alih karena faktor geologi lokal. Artinya, jumlah korban dan kerusakan bangunan tentu bisa ditekan meski angka magnitudo gempa buminya sebesar yang terjadi pada Sabtu (21/7) lalu.
Tim Badan Geologi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan kajian pascagempa yang terjadi di Solok.
Peneliti lainnya dari Badan Geologi Kementrian ESDM, Cipta Athanasius, menjelaskan bahwa kesimpulan tersebut baru asumsi awal. Ia mengakui perlu ada kajian mendalam untuk mengukur seluruh parameter pendukung kerusakan akibat gempa bumi. Namun penelitian sementara memang menunjukkan bahwa secara geologi, gempa bumi yang terjadi di Solok sebetulnya tidak akan terlalu merusak bila kualitas rumah warga menenuhi standar.
Korelasi antara faktor geologi lokal dengan risiko kerusakan bangunan memang perlu penjelasan yang terlampau teknis. Namun sederhananya, Cipta menjelaskan, jenis batuan lunak dan tebal akan memberikan respons terharap gelombang dengan frekuensi rendah. Sebaliknya, jenis batuan dengan lapisan tipis akan mengimplifikasi gelombang dengan frekuensi tinggi. Di Solok sendiri, secara umum batuannya merupakan hasil sedimentasi gunung api yang cukup keras yang tidak mendorong amplifikasi kuat.
"Kalau di sini (Solok-red), saya tak yakin amplifikasi gelombang menjadi faktor dominan. Mungkin lebih ke kualitas bangunan. Kalau beberapa yang kami cek, ring balok tidak nyambung dan mengikat sepenuhnya, pas ada gempa ya lepas aja," katanya.
Tim peneliti dari Badan Geologi berharap, Pemerintah Daerah (Pemda) benar-benar menerapkan kebijakan perencanaan pembangunan yang memperhatikan tingkat kerawanan bencana. Cipta memandang, kepekaan Pemda untuk membatasi pembangunan di daerah rawan bencana bisa mengurangi tingkat kerusakan dan mencegah jatuhnya korban jiwa.
Di Sumbar sebetulnya sudah ada 'Peta Kawasan Rawan Bencana Gempa Bumi' yang bisa dijadikan landasan dalam perencanaan pembangunan. Dari seluruh wilayah Sumbar, sebagian besar area masul dalam kategori kerawanan tinggi, memanjang dari utara hingga selatan Sumbar. Kondisi ini membuat, mau tak mau bangunan yang dibuat harus menjalankan prinsip 'tahan-gempa'.
Memahami Ancaman Bencana Geologi di Sumbar
Sumatra Barat merupakan wilayah yang 'dikepung' berbagai potensi bencana alam. Dari sisi geologi, Sumbar menghadapi tiga 'sumber gempa' yang bisa melepas energinya sewaktu-waktu. Ancaman besar pertama adalah aktivitas zona subduksi di sebelah Pulau Sumatra, dengan pergerekan Lempeng Indo-Australia yang menunjam ke bawah Lempeng Eurasia. Ancaman kedua adalah aktivitas Sesar Mentawai yang letaknya berada di antara Pulau Sumatra dan Kepulauan Mentawai. Sementara ancaman ketiga adalah aktivitas Sesar Besar Sumatra yang membentang dari Aceh hingga Lampung. Sumbar merupakan salah satu wilayah yang dilalui.
Cipta mengimbau masyarakat Sumbar untuk secara sadar memahami potensi kebencanaan yang ada. Kesiapsiagaan bencana harus ditumbuhkan sejak dini agar tingkat kerusakan dan adanya korban jiwa bisa ditekan angkanya. "Pertama sebetulnya kita harus tahu apa yang harus dilakukan sebelum, saat, dan setelah terjadi gempa. Di sini sudah disiapkan shelter, jalur evakuasi. Tinggal ditingkatkan latihan untuk hadapi gempa," katanya.