Selasa 31 Jul 2018 18:49 WIB

Jalan Terjal Minoritas Muslim di Jerman

Dua isu utama di Berlin adalah krisis Taman Kanak-kanak (TK) dan tempat tinggal.

Rep: Fernan Rahadi/ Red: Yusuf Assidiq
Seorang Muslim tengah melaksanakan shalat di Masjid Sehitlik di Berlin, Jerman.
Foto: Republika/Fernan Rahadi
Seorang Muslim tengah melaksanakan shalat di Masjid Sehitlik di Berlin, Jerman.

REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Menjadi seorang Muslim minoritas di negara Eropa seperti Jerman memang penuh tantangan. Persoalan tak hanya terkait dengan ibadah, tapi juga hubungan dengan masyarakat mayoritas yang mayoritas sekuler.

Hal itu salah satunya dirasakan Abdoul (30 tahun), seorang koki di sebuah restoran Italia, Vapiano. Saat ditemui Republika.co.id di salah satu cabang Vapiano di Berlin Barat, Ahad (15/7) kemarin pria asal Senegal itu mengutarakan keluh-kesahnya. "Hidup di sini berat, orang tidak paham tentang Islam," katanya di sela-sela memasak hidangan pasta yang dipesan oleh pengunjung.

Sama dengan teman-temannya asal Afrika yang Muslim, Abdoul, mengaku merupakan seorang Muslim yang taat. Setiap hari ia selalu menyempatkan diri untuk shalat. Apalagi tak jauh dari tempatnya bekerja tinggal terdapat masjid.

Meskipun demikian, sulit baginya untuk menerapkan shalat lima waktu. Apalagi atasannya tidak pernah mengizinkannya istirahat saat jam kerja untuk beribadah. Ia hanya bisa shalat di luar jam kerjanya.

Tiap datang bulan Ramadhan, Abdoul mengaku sengaja tidak bekerja selama sebulan penuh agar bisa melaksanakan ibadah puasa dengan baik. Hal itu juga dilakukannya agar pekerjaannya tidak terganggu akibat dirinya berpuasa.

Abdoul mengaku sudah tidak betah lagi bekerja di tempat itu. Menurutnya, pekerjaan yang dilakukannya sekarang membuatnya merasa seperti mesin. "Saya tidak bisa istirahat di sini. Anda lihat sendiri kan?" ujarnya sambil menunjuk antrean mengular yang harus kami lalui siang itu.

Walaupun baru bekerja di restoran selama tiga bulan, Abdoul mengaku akan mengundurkan diri pada akhir bulan Juli ini. "Ini bulan terakhir saya bekerja di sini," tuturnya mantap.

Ditanya akan bekerja di mana setelah ini, Abdoul mengaku belum memikirkannya. "Pekerjaan banyak. Mudah jika Anda (penduduk) legal di Jerman," katanya.

Berimigrasi dari Senegal lima tahun yang lalu, Abdoul mendapatkan status sebagai penduduk permanen tiga tahun yang lalu setelah menghabiskan dua tahun pertamanya untuk belajar bahasa. Ia kemudian juga menikah dengan penduduk asli Jerman yang juga Muslim.

Menurut dia, berpindah tinggal di Jerman bukan berarti harus mengikuti kebiasaan orang-orang Jerman. Ia bangga sebagai orang Senegal dan berharap suatu hari nanti bisa kembali ke tanah leluhurnya.

Kehidupan yang berat sebagai Muslim di Jerman juga diakui Levent Yukcu, seorang pengurus di Masjid Sehitlik di Berlin. Selain pemahaman masyarakat Jerman secara umum yang masih kurang, masalah lain yang ditemui adalah persoalan makanan halal.

"Di Jerman hampir tidak ada restoran yang menyediakan makanan yang berlabel halal," kata Levent. Oleh karena itu, kebanyakan Muslim lebih memilih memasak sendiri hidangan yang ingin dikonsumsinya.

Bagi perempuan Muslim, tantangannya bahkan lebih berat. Ia mencontohkan, tidak ada masjid yang menyediakan tempat ibadah khusus bagi perempuan Muslim. Selain itu, masih terdapat diskriminasi bagi perempuan berjilbab. "Jika memakai jilbab, perempuan tidak boleh menjadi guru," kata Levent.

Sementara itu, seorang mahasiswa asal Indonesia yang sedang menempuh kuliah di Jerman, Muhammad Ihsan Karimi (28 tahun), mengungkapkan kendala yang mesti dihadapi Muslim seperti dirinya tiap menjalani ibadah di bulan Ramadhan.

Mahasiswa Master of Mechanical Engineering di TU Berlin itu mengatakan sulit bagi Muslim untuk menjalankan shalat Tarawih di masjid saat malam hari. Apalagi waktu Isya di Berlin bisa di atas pukul 23.00. "Karena ada aturan yang tidak memperbolehkan ribut saat malam hari," kata ketua pengurus Masjid Al Falah, Berlin, itu.

Akhirnya, para Muslim, khususnya jamaah Masjid Al Falah, memilih untuk menggabungkan waktu Isya dengan waktu Maghrib. Dengan demikian, shalat Tarawih bisa dilaksanakan lebih awal dan tidak mengganggu masyarakat sekitar masjid.

Menghidupkan masjid

Meskipun keadaan berat, hal itu tak menyurutkan semangat para Muslim di Jerman. Seorang relawan yang juga imam di Masjid Al-Taqwa, Gottingen, Khaled Kanjo (62 tahun) menegaskan tidak ada masalah berarti perihal peribadatan umat Islam di Gottingen. Menurutnya, masyarakat Jerman yang sekuler sangat toleran dengan masyarakat Muslim yang minoritas di Kota Universitas tersebut.

"Mungkin di tempat-tempat lain di Jerman ada masalah, namun tidak di tempat ini," tutur Khaled.

Ia juga bersyukur karena sejak datang ke tempat itu 30 tahun yang lalu, komunitas Muslim di Gottingen terus berkembang. "Masyarakat Islam semakin berkembang dan masjid ini juga semakin besar," ujarnya bangga.

Pria berjanggut putih itu juga mengaku tak mempermasalahkan aturan hukum di Jerman yang tidak menganggap tempat itu sebagai masjid, melainkan cultural center. "Bagi saya itu hanya semata hukum. Bagi kami komunitas muslim, tempat ini adalah masjid," katanya.

Ia mengaku paling bahagia jika datang hari-hari besar Islam seperti Idul Fitri atau Idul Adha. Saat waktu itu tiba, tempat yang terletak di Guterbahnhofstrasse 14 tersebut bisa dipadati ribuan jamaah. "Kebanyakan mahasiswa yang datang ke sini," ujar pria asal Suriah itu.

Selain mengadakan ibadah lima waktu, Al-Taqwa juga sering mengadakan kajian-kajian Islam dan sejumlah pelatihan seperti kursus bahasa Arab dan tadarus Alquran. "Bahkan beberapa waktu lalu ada juga beberapa orang yang masuk Islam dengan mengucapkan syahadat di tempat ini," kata Khaled yang mengaku pernah kuliah di Oxford University itu.

Sementara itu, masjid milik komunitas Muslim Indonesia, Al Falah, telah memberikan pelayanan terhadap masyarakat Muslim Indonesia di Jerman selama lebih dari 30 tahun. "Masjid ini adalah cikal-bakal dari Perhimpunan Pelajar Muslim Eropa (PPME) yang terbentuk pada tahun 1984 di Belanda," kata Chairman Indonesian Centre for Culture of Wisdom (IWKZ) (nama resmi masjid tersebut-Red), Muhammad Ihsan Karimi.

Saat ini Al Falah menjadi salah satu komunitas Muslim yang signifikan di Kota Berlin. "Selain itu, jumlah jamaah masjid ini juga bertambah, dan kegiatannya juga semakin beragam," ujar pria berusia 28 tahun itu.

Karimi mengungkapkan, saat ini jamaah Masjid Al Falah sekitar 600 orang. Bahkan angka ini bertambah menjadi 1.000 orang tiap hari-hari besar seperti Idul Fitri atau Idul Adha. Karena banyak m asyarakat di luar Berlin yang sengaja datang ke satu-satunya masjid milik Indonesia di Berlin tersebut.

Adapun kegiatan-kegiatan yang sering digelar Al Falah di antaranya adalah seminar ilmiah, bimbingan belajar, sampai kursus Bahasa Jerman. "Bahkan banyak juga yang masuk Islam dan menikah di sini," kata Karimi. Hal itu menjadikan suasana Islami di Al Falah benar-benar terlihat.

Selain itu, Al Falah juga kerap menjalin kerja sama dengan masjid-masjid lain di Jerman. Saat ini, diperkirakan terdapat 3.000 masjid di Jerman yang tergabung dalam berbagai macam asosiasi. Al Falah sendiri tergabung dalam sebuah asosiasi masjid di Jerman yang bernama Islamic Federation.

"Dalam asosiasi ini nantinya akan disepakati berbagai macam aturan yang dipakai untuk kepentingan bersama di masjid, misalnya soal penentuan waktu shalat, puasa, dan lain sebagainya," kata Karimi.

Selain memberikan pelayanan terhadap masyarakat Muslim Indonesia, Al Falah dalam beberapa waktu terakhir juga aktif berdiplomasi dengan pemerintah setempat. Menurut Karimi, dua isu utama di Berlin adalah krisis Taman Kanak-kanak (TK) dan krisis tempat tinggal.

Beberapa waktu yang lalu, seorang jamaah Masjid Al Falah juga kesulitan mendapatkan rumah setelah harus keluar dari tempat tinggalnya sekarang. Terkait hal ini, Karimi mengatakan pihaknya sudah berupaya mengusulkan adanya penempatan di bekas-bekas bangunan industri yang kini kosong.

"Namun sejauh ini kami terkendala karena ternyata sesuai konstitusi bekas bangunan industri juga tidak boleh dipergunakan sebagai tempat tinggal," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement