REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Duta Besar Indonesia untuk Cina Djauhari Oratmangun bersama PT Garam (Persero) melakukan penjajakan kerja sama dengan China Salt Industry Coorporation (CSIC), perusahaan garam terbesar di China. Penjajakan kerja sama itu sebagai upaya memenuhi kebutuhan garam dalam negeri yang masih bergantung pada impor.
Dalam pertemuan di KBRI Beijing pada Selasa (7/8) waktu setempat, hadir Komisaris PT Garam Eniya Listiani Dewi didampingi Direktur Farmasi dan Medika, BPPT, Imam Paryanto. Menurut Djauhari, kunjungan tersebut untuk mengetahui cara memproduksi garam dalam jumlah yang banyak dan kualitas yang baik. CNSIC memproduksi 18 juta ton per tahun dan sebagian besar merupakan garam sumur (tambang garam) sehingga produksinya tidak bergantung pada musim.
"Kami akan ikut mendorong kerjasama PT GARAM dengan CNSIC, termasuk kemungkinan berinvestasi dan berproduksi agar Indonesia mengurangi impor, malah mungkin ekspor," kata Djauhari dalam siaran pers yang diterima pada Rabu (8/8).
PT Garam merupakan satu-satunya perusahaan yang memproduksi garam di Indonesia. Kapasitas produksi perseroan per tahun mencapai 350 ribu ton.
Usaha dan produksi garam tidak terlalu besar karena bergantung iklim dan dihasilkan secara on-farm. Kualitas dan kuantitasnya pun belum terlalu banyak.
Selain PT Garam, produksi garam dihasilkan oleh petani garam dengan total lahan 25 ribu hektare. Dimana 5.000 hektare di antaranya adalah milik PT Garam.
Sementara itu, kebutuhan garam di Indonesia 4,5 juta ton per tahun. Untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri yang ada hanya 2,3 juta ton per tahun, pemerintah terpaksa mengimpor garam.
Dengan produksi yang hanya 350 ribu ton per tahun, kontribusi PT Garam untuk memenuhi kebutuhan nasional masih kecil. Namun, perseroan menargetkan dapat memenuhi permintaan dalam negeri sebanyak 50 persen pada 2021.