REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Abu Hamid Muhammad Al Ghazali meneruskan surat-suratnya kepada penguasa. Kali ini, dia menulis surat kepada Yang Mulia Syihabul Islam, seorang perdana menteri dari Kerajaan Seljuk yang hidup sekitar abad ke-11.
Imam Al Ghazali menasihati Syihabul Islam agar tidak terjebak kepada penyakit hati. Al Ghazali menjelaskan, penyakit fisik dan penyakit hati adalah sesuatu yang berbeda. Penyakit yang paling umum terjadi dan berakibat fatal adalah penyakit hati. Menurut Al Ghazali, hanya dengan berzikir dan mengingat Allah penyakit hati itu bisa ditaklukkan. "Hai manusia, sesungguhnya telah datang pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) di dalam dada." (QS Yunus :57).
Dengan mengingat Allah, hati manusia bisa menikmati kedamaian sejati. Mendapat kan kedamaian dalam hidup yang penuh keperihan adalah hal terbaik di antara semua. Di sisi lain, orang dengan hati yang telah mati tidak bisa mendatangkan keakraban dengan Allah SWT. Peringatan hanya bisa dirasakan oleh orang-orang 'berhati'. "Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati." (QS Qaf:37).
Pada surat lainnya, Al Ghazali mendorong agar sang perdana menteri bisa menanjak ke capaian sejati yang lebih tinggi. Menurut sang imam, ada dua jenis maqamat atau kebijakan capaian. Pertama adalah kebenaran, kedua adalah kesalahan. Seseorang yang mengangkat dirinya menuju Dia akan mendapatkan kebenaran. Yang menilai objek-objek duniawi lebih daripada-Nya tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali kepalsuan. "Dan orang yang menghalangi pandangannya untuk mengingat Yang Maha Pemurah kami tu run kan kepadanya setan yang akan men jadi temannya." (QS Az Zukhruf:36).
Al Ghazali lantas menukil kisah Khali fah Umar bin Abdul Aziz sebagai sosok moralis praktis. Sebelum berkuasa, ketika sepotong pakaian berharga seribu dinar dibawa kepadanya, Umar berkata: "Aduh, pakaian ini terlalu kasar untuk kupakai." Namun, setelah berkuasa, jika sepotong pakaian seharga lima rupee dibawa kepadanya, ia akan berkata: "Pakaian ini terlalu baik untuk kupakai."
Umar, kata Al Ghazali, lantas mengungkapkan, betapa inginnya dia mengenakan pakaian dari karung yang sedemikian kasar. Umar bertamsil, dengan memegangnya saja, kulit tangannya akan tergores di sana-sini. Sebelum pengangkatannya sebagai khalifah, dia memiliki cita rasa sedemikian halus sehingga tidak bisa berpuasa dengan apa yang diperolehnya. Dia pun selalu berupaya untuk mendapatkan hal yang lebih baik.
"Tetapi, setelah pengangkatan, saya mengikuti suatu disiplin yang keras dan menjalani kehidupan yang begitu sederhana dan prihatin sebagai seorang fakir paling miskin. Saya selalu ingin sedikit saja dan saya selalu mendapatkan yang sedikit dari yang saya ingini itu."
Menurut Al Ghazali, Umar bin Abdul Aziz sudah terbebas dari kegelisahan yang diakibatkan sebab-sebab dari luar dan dalam diri. Dia tidak lagi dicengkeram oleh kepedihan dan kesenangan demi mencapai tujuan-tujuan luhur yang lebih unggul. Al Ghazali menulis, manusia diberi kehendak terbatas. Tergantung apakah ia akan mengenali wujudnya dengan mengutamakan diri dan kepentingannya atau mencampakkan kepentingannya dan mengidentifikasi diri secara khusus dengan Allah di dalam dan di luar dirinya.
Al Ghazali pun berpesan, Tuhan telah mengangkat Syahibul Islam sebagai se orang perdana menteri di Kerajaan Seljuk. Waktunya tiba bagi Syahibul Islam untuk menginginkan tingkatan lebih tinggi dari sekadar menjadi pejabat.
"Jika Anda memperolehnya dan merasa puas dengannya, Anda akan teralihkan dari tahap ini menuju tahap lain yang lebih tinggi. Anda akan terpalingkan ke arah yang lebih terhormat dan akan diganjar dengan perasaan kecukupan diri. "
Untuk itu, Al Ghazali memberi wasiat agar manusia lepas dari ketergantungan ke pada selain Allah. Hawa nafsu ditang gal kan untuk bisa mengatasi yang lain-lain. Jiwa mesti sama sekali tenggelam di da lam uzlah dan menjadi tenggelam sehingga ia kembali ditemukan. Musuh yang sebenarnya ada pada dalam diri kita yang harus diperangi. Ruh pengabdian sebenarnya menuntut agar kita bersyukur kepada Allah dalam kemakmuran dan bertawakal dalam kesengsaraan.
Allah berfirman. "Katakanlah, dengan karunia Allah dan rahmat-Nya hendaklah mereka dengan itu bergembira. Karunia Allah dan rahmat- Nya itu adalah lebih baik dari apa yang me reka kumpulkan." (QS Yunus:58).
Al Ghazali pun menyayangkan akan orang-orang yang menggantungkan kebahagiaan kepada manusia. Padahal, manu sia tempat mereka bergantung tidak luput dari kesalahan dan membuat kerusakan. Allah SWT pun membuat perumpamaan.
"Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan, sesungguhnya rumah yang pa ling le mah adalah rumah laba-laba jika sa ja mere ka mengetahui." (QS Al Ankabut: 41).
Menurut Al Ghazali, tidak ada satu pun kekuatan dan kekuasaan selain Allah. Pada zaman ini, manusia dipenuhi berbagai kesulitan dan kehinaan hanya karena ketergantungan mereka kepada dunia. Mereka tidak acuh kepada akhirat dan Hari Perhitungan yang pasti akan tiba. "Jika Anda lebih mempercayai Rabb Anda ketimbang manusia, Anda lebih setia kepada-Nya dan Dia benar-benar Rabb Anda."
Lebih lanjut, Al Ghazali pun mendoa kan Syahibul Islam agar Allah menjadi kan nya selalu selaras dengan perintah-pe rintah dan keagungan rohani-Nya. Dia ber doa semoga Allah SWT memampukan perdana menteri untuk menyelenggarakan tugas-tugas seorang hamba Allah bagi orang yang tertekan. "Kekuasaan dan ke kuatan terletak di tangan Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang." (Disarikan dari buku Surat-Surat Al Ghazali kepada Pa ra Penguasa, Pejabat Negara dan Ulama kar ya Abdul Qayyum).