REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tim pemenangan pasangan calon presiden dan wakil presiden diharapkan menghadirkan diskursus positif dihadapan publik. Untuk bisa mendapatkan simpati dari masyarakat, tim pemenangan paslon dinilai perlu mengubah pola kampanye, bukan hanya sebatas menjual emosi dengan saling menyerang paslon lawan.
Direktur Populi Center Usep S Ahyar mengatakan, idealnya tim kampanye mengatur komunikasi yang baik serta isi komunikasi yang akan disampaikan ke masyarakat. "Harus dihadirkan diskursus yang berbobot. Pilpres sebelumnya lebih banyak kampanye yang emosional," kata Usep saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (14/8).
Usep mengatakan, ke depan debat antara paslon berserta tim kampanye perlu memberikan ruang bagi publik untuk menilai secara jernih program dan visi misi yang ditawarkan. Artinya, bukan sekadar mengolah emosi para pemilih. Namun, mengapa paslon tersebut layak dipilih.
"Kita sering lihat akhirnya tim kampanye jadi ajang berkelahi. Salah benar harus didukung. Itu namanya emosional masyarakat yang digarap bukan rasionalitas," ujarnya.
Saat ini, kata dia, dilihat dari usia pemilih hampir terbagi rata. Yakni pemilih dengan kalangan usia tua dan generasi milenial. Khusus generasi milenial, kata Usep, mayoritas skeptis terhadap perpolitikan karena dianggap rumit dan berkutat pada satu masalah. Maka dari itu, selain harus menghadirkan diskursus positif, cara kampanye sangat menentukan pandangan terhadap dua paslon.
"Komunikasi yang baik itu harus dipikirkan. Siapa yang menjadi sasaran kampanye itu. Tim kampanye harus tahu caranya," katanya.
Kuncinya, lanjut Usep, tim kampanye harus menggunakan cara kreatif dan segar ide. Bukan dengan cara-cara lama yang membosankan dan malah membuat masyarakat ingin golput. Ia menambahkan, substansi jauh lebih dibutuhkan publik ketimbang menebar kebencian.
Dirinya pun belum bisa melihat sejauh mana persiapan masing-masing tim kampanye. Sebab hingga saat ini masing-masing kubu masih mematangkan nama-nama yang bakal mengisi jabatan penting dalam tim pemenangan. Usep mengatakan, masa-masa seperti ini biasa digunakan para partai koalisi untuk berkompetisi merebut posisi penting.
"Sebab, jika mendapatkan posisi penting dalam tim partai akan mendapatkan keuntungan akan elektabilitas yang naik. Apalagi nanti Pilpres dan Pileg berbarengan," ujarnya lagi.