REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Sumatra Barat mencatatkan perbaikan skor Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tertinggi di Indonesia, dari 54,41 poin di tahun 2016 menjadi 69,50 poin di sepanjang 2017. Artinya, ada peningkatan hingga 15,09 poin dalam kurun waktu satu tahun. Lonjakan skor IDI Sumbar mengungguli DKI Jakarta di posisi kedua dengan peningkatan 13,89 poin dan Lampung dengan kenaikan 11,01 poin.
Peningkatan skor IDI Sumbar menjadi angin segar bagi pengambil kebijakan untuk terus memperbaiki indikator-indikator penunjang demokrasi. Apalagi dalam penilaian IDI 2016 lalu Sumbar duduk di posisi paling buntut, terbawah di Indonesia.
Namun Badan Pusat Statistik (BPS) mengingatkan, skor IDI Sumbar masih duduk di posisi tujuh terbawah meski mengalami lonjakan paling signifikan. Sumbar masih unggul dibanding Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, Sumatra Utara, Sulawesi Barat, Papua Barat, dan Papua.
"Jadi, IDI Sumbar tahun 2017 memang cukup tinggi naiknya, bahkan paling tinggi di Indonesia. Peningkatannya mencapai 15,09 poin dibanding tahun lalu," jelas Kepala BPS Sumbar Sukardi di kantornya, Rabu (15/8).
Sukardi menyebutkan, penilaian Indeks Demokrasi Indonesia tak hanya menguliti kebijakan dan kinerja Pemerintah Daerah (Pemda), namun juga melihat bagaimana masyarakat berdemokrasi. Setidaknya ada tiga aspek demokrasi yang menjadi penilaian yakni kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga demokrasi.
Di Sumatra Barat sendiri, lanjut Sukardi, perhitungan IDI juga menggunakan data pendukung seperti kajian surat kabar lokal (Sumbar menggunakan Harian Singgalang), kajian dokumen kebijakan (Perda dan Pergub), diskusi terbatas antara tim pengkaji dan pemerintah, serta wawancara mendalam. Dengan skor IDI sebesar 69,50 poin, Sumbar memiliki tingkat demokrasi level 'sedang'.
Bila dirinci per indikator, peningkatan skor tertinggi pada aspek kebebasan sipil diraih oleh indikator nomor 10. Indikator tersebut berisi, 'ancaman kekerasan atau penggunaan kekerasan oleh masyarakat karena alasan gender, etnis, atau terhadap kelompok rentan lainnya. Sementara untuk aspek hak-hak politik, lonjakan skor terbaik dicapai oleh indikator 'demonstrasi yang bersifat kekerasan. Terakhir, untuk aspek lembaga demokrasi, perbaikan tertinggi diraih oleh indikator 'upaya penyediaan informasi APBD oleh pemerintah daerah'.
Perda Agama
Ada bagian menarik dalam rilis IDI Sumatra Barat kali ini. Indikator nomor 5 dalam aspek kebebasan sipil masih menorehkan skor rendah sejak tahun 2016 lalu. Indikator ini menyebutkan, 'aturan tertulis yang membatasi kebebasan atau mengharuskan masyarakat dalam menjalankan agamanya'. Pada indikator tersebut Sumbar meraih skor 13,04 pada 2017, naik tipis dibanding raihan tahun 2016 sebesar 8,70 poin.
"Nilainya rendah, karena menurut konsep yang dibangun tim ahli tadi perda-perda yang ada di kabupaten/kota tentang wajib baca Alquran misalnya, itu yang sebabkan rendah. Ada 20 perda semacam itu di Sumbar," jelas Sukardi.
Sukardi tidak menampik bahwa pembuatan Perda yang menyangkut nilai-nilai agama di Sumbar berlandaskan kearifan lokal yang ada. Meski begitu, ia menegaskan bahwa tim ahli memiliki parameter sendiri mengapa perda-perda yang berkaitan dengan ajaran agama justru membuat skor IDI menjadi rendah.
"Itu masalah sudut pandang tim ahli sih. Makanya ada tim ahli yang mengkaji tentang konsep ini tadi. Kalau kenapa dia (tim ahli) dianggap tidak demokratis di sisi lain kita memandang kearifan lokal, ini yang perlu didiskusikan antara pemda dan tim ahli," katanya.