REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh Aceh, Al Chaidar, menyampaikan permintaan maafnya kepada ulama dan tokoh masyarakat di Sumatra Barat. Chaidar meminta maaf menyusul gelombang penolakan dari para ulama dan tokoh adat di Tanah Minang terkait pernyataannya tentang keberadaan 3.000 anggota teroris di Sumatra Barat.
"Ya, saya tetap takzim dengan ulama. Saya terima dimarahi. Marahnya ulama adalah pelajaran berharga. Saya meminta maaf atas angka tersebut dan akan saya pertanggungjawabkan," jelas Chaidar, Kamis (16/8).
Ia mengaku bahwa sejumlah pesan pribadi dari ulama, ustaz, dan aktivis Islam di Sumbar masuk melalui ponselnya untuk mengingatkan tentang polemik yang terjadi. Chaidar menyebutkan, untuk kondisi saat ini maka lebih penting melawan terorisme ketimbang mempersoalkan angka-angka jumlah teroris.
Baca juga: Prabowo Usulkan Djoko Santoso, Sandiaga Usulkan Rizal Ramli
Ia mengapresiasi ulama yang sudah bersedia melawan terorisme di Sumatra Barat selama ini. Sayang, menurutnya, langkah ulama belum dibarengi dengan upaya serupa oleh pemerintah.
"Para ulama Sumbar sebenarnya bukan marah ke saya, tapi mereka kesal dengan pemerintah yang semakin sekuler dan cenderung memanjakan aliran-aliran sesat dan menuduh Teroris terhadap semua yang kritis kepada pemerintah," kata Chaidar.
Baginya yang terpenting, ia menyampaikan teori dan opsi akomodatif. Apalagi beberapa waktu lalu ulama di Sumbar kencang menolak konsep 'Islam Nusantara'. Mengacu hal ini, ia mendesak pemerintah pusat lebih peka dan tidak mengabaikan aspirasi para ulama dan tokoh adat dari Tanah Minang.
Menurutnya, sikap pemerintah pusat dengan mempertimbangkan penolakan Sumbar atas 'Islam Nusantara' akan mendinginkan hati orang-orang beriman dan membentengi potensi radikalisme di Sumbar yang bisa bermetamorfosis menjadi terorisme.
"Karena seperti saya katakan menjinakkan teroris itu sebenarnya asal pemerintah menghormati syiar-syiar syariah yang diyakini umat Islam. Saya yakin FPI, MMI, MUI akan membenarkan bahwa potensi adalah energi. Ttinggal kanalisasinya yang harus pas agar energi terpendam itu jadi positif bagi bangsa," katanya.
Baca juga: Berjasa Lawan Terorisme, Puan Raih Bintang Bhayangkara Utama
Diberitakan sebelumnya, sejumlah organisasi masyarakat (ormas) di Sumbar berencana melaporkan Al Chaidar ke polisi. Laporan ini merupakan buntut komentar dosen Universitas Malikussaleh Aceh tersebut terkait penyebutan adanya 3.000 anggota jaringan teroris di Sumatra Barat.
Ketua Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM) Irfianda Abidin menyebutkan, laporan akan disampaikan kepada Kepolisian Daerah (Polda) Sumbar paling lambat Senin (20/8) mendatang.
"Jadi akan kami laporkan dalam waktu dekat, besok atau Senin paling lambat. Kami tidak terima tuduhan Al Chaidar ini," jelas Irfianda, Kamis (16/8).
Baca juga: 'Pencegahan Terorisme di Perbatasan Butuh Pendekatan Khusus'
Irfianda beranggapan bahwa komentar Al Chaidar justru menambah resah dan berpotensi membuat kekisruhan di tengah umat Islam di Tanah Minang. Berangkat dari alasan tersebut, sejumlah ormas seperti Front Pembela Islam (FPI), Front Mahasiswa Islam (FMI), Komite Penegak Syariat Islam (KPSI), Dewan Dakwah Islam Indonesia, MTKAAM, dan Persatuan Ponpes Sumbar akan melaporkan hal tersebut ke Polda.
"Saya puluhan tahun di sini ndak pernah dengar teroris di sini. Lancang sekali dia (Al Chaidar). Ini kan membuat kisruh aja ini. Saat negara sedang kisruh, dia malah nambah-nambahin," katanya.
Penjelasan Ilmiah
Masyarakat di Sumbar memang dibuat heboh sejak tiga hari lalu oleh isu terorisme. Setelah penangkapan lima orang terduga teroris di sejumlah titik di Sumbar pada Senin (13/8) . Lalu, muncul komentar pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh Aceh, Al Chaidar, di halaman depan sebuah koran terbitan Padang, Harian Haluan.
Dalam berita yang terbit Selasa (14/8) lalu, Chaidar menyebut bahwa jaringan terorisme di Sumatra Barat berkembang hingga mencakup 3.000 anggota, dengan basis pelatihan tersebar di Bukittinggi dan beberapa titik lain.
Lantas dari mana asal data yang diungkap Chaidar tersebut?
Republika.co.id mengonfirmasi hal itu kepada Al Chaidar pada Rabu (18/6). Ia menjelaskan, seluruh data yang disampaikan merupakan data yang pihaknya kumpulkan melalui kajian resmi di kampus Universitas Malikussaleh, Aceh. Pengambilan datanya, ujar Chaidar, dilakukan dari penelitian di lapangan dan data-data sekunder dari internet dan korespondensi surat elektronik dengan sejumlah sumber.
"Itu database penelitian kami, penelitian reguler yang sifatnya database. Setiap ada kesempatan saya update data, karena di berbagai tempat," kata Chaidar, Rabu (15/8).
Chaidar menyebutkan, sebanyak 3.000 anggota teroris tersebut berafiliasi dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Ansahrut Khilafah (JAK). Kajian yang dilakukan Chaidar juga memasukkan orang-orang seperti keluarga dari anggota ke dalam 'angka 3.000' tadi. Dari angka sebanyak itu, kelompok-kelompok terorisme di Sumbar justru dilatih oleh oknum dari dalam daerah sendiri.
"Sebarannya di Bukittinggi, Payakumbuh, dan beberapa tempat lain. Batusangkar juga ada. Dengan tempat latihan ada di Bukittinggi dan Mentawai," kata Chaidar.
Baca juga: Tjahjo Nilai tak Etis Aher Jadi Cawagub DKI, Ini Respons PKS
Terkait pola penyebaran paham terorisme di Sumbar pun, Chaidar menyebut sulit terdeteksi. Ia mengatakan, ada anggota teroris yang memanfaatkan media sosial untuk berkomunikasi dan menyebarkan pahamnya. Tak hanya via media sosial, penyebaran paham terorisme juga lebih banyak dilakukan secara langsung, melalui komunikasi dua arah.
"Kalau di Surabaya itu keluarga-keluarga itu bertemu langsung. Jadi tidak melalui whatsapp, atau medsos. Tidak melalui telepon bahkan," kata Chaidar.
Terkait respons keras yang bermunculan setelah komentarnya di sebuah koran, Chaidar justru menyebutkan bahwa angka '3.000' terbilang moderat dibanding provinsi lain di Indonesia. Ia mengatakan daerah-daerah lain justru memiliki jumlah anggota jaringan teroris yang lebih banyak. Jawa Barat misalnya, diperkirakan memiliki 3.000 anggota jaringan teroris. Sementara, Jawa Timur angkanya lebih tinggi yakni 5.000-an orang.
Baca juga: Jusuf Kalla Tolak Tawaran Jokowi