Senin 20 Aug 2018 15:45 WIB

Pengamat: Prabowo Punya Peluang Rebut Suara NU

Pengamat menilai suara NU bisa pecah ke Prabowo-Sandiaga.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Bayu Hermawan
Toto Sugiarto
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Toto Sugiarto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasangan bakal calon presiden (bacapres) dan bacawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dinilai masih memiliki peluang besar untuk mendapatkan suara dari warga nahdliyin dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Dua pemicu utama, yakni kekecewaan terhadap pejawat terkait perlakuan terhadap Mahfud MD serta seruan keluarga Gus Dur agar organisasi Nahdlatul Ulama (NU) tetap netral.

Direktur Eksekutif Riset Indonesia Toto Sugiarto mengungkapkan, kisah Mahfud MD yang batal dipilih sebagai cawapres pada detik terakhir deklarasi pejawat amat mengena di tengah masyarakat. Kendati Mahfud tidak memiliki jaringan hingga ke akar rumput nahdliyin, hal tersebut tetap akan berpengaruh. "Mereka yang kecewa (kepada Jokowi) itu tentu bisa beralih ke Prabowo," katanya saat dihubungi, Senin (20/8).

Di sisi lain, masyarakat Indonesia punya pengalaman lebih dari lima kali menghadapi pilpres dan pilkada. Karena itu, masyarakat luas sudah cukup terdidik dalam hal kepemilihan dan mampu mempertimbangkan pemimpin secara rasional. Artinya, tak sekadar melihar latar belakang organisasi paslon. 

Sebelumnya, Yenny Wahid, putri keempat Gus Dur, menegaskan bahwa NU secara organisasi tidak boleh berpolitik praktis. Namun, warga NU diperbolehkan memilih sikap politik secara individual dan tidak ada paksaan sama sekali untuk memilih salah satu paslon. Yenny menyebut, NU tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana.

Sedangkan, para Gusdurian pun bukan organisasi politik. Gusdurian akan memilih pemimpin berdasarkan proses aqli dan naqli. Dua proses itu yang akan digunakan secara rasional untuk menilai sepak terjang kedua paslon. Menanggapi itu, Toto mengatakan, pernyataan Yenny sedikit-banyak memiliki pengaruh terhadap nahdliyin dalam menentukan pilihan. "Itu berpengaruh apakah mereka tetap dengan garis tradisional memilih Jokowi-Ma'ruf atau mungkin ke yang lain," ujarnya yang juga menjadi analis Exposit Strategic.

Meski demikian, berdasarkan riset yang ia lakukan, elektabilitas pejawat masih tinggi. Masih ada delapan bulan yang bisa dimanfaatkan kubu Prabowo-Sandiaga untuk menarik simpati publik. Direktur Eksekutif Populi Center Usep S Ahyar menuturkan, dalam beberapa kali riset yang dilakukan Populi Center, ormas-ormas hingga ke akar rumput tidak begitu solid dalam menentukan sikap politik.

"Muhammadiyah, NU, tidak terlalu solid untuk mendukung ke satu calon. Kecenderungan pemilih itu bergantung ke banyak hal," katanya.

Kondisi serupa pun terjadi dalam tubuh para kader partai politik hingga ke tingkat terbawah. Hal tersebut diakibatkan oleh faktor sosiologis individu. Selain itu, sosok paslon juga akan menjadi pertimbangan pemilih. “Jadi, tidak peduli siapa pun dia dan afiliasinya ke mana, yang penting dia bagus,” ujar Usep.

Usep menambahkan, pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin pun perlu menjawab pertanyaan publik terkait perubahan pilihan yang begitu cepat menjelang deklarasi paslon pada 9 Agustus lalu. Hal itu demi memberikan penjelasan kepada pihak-pihak yang kecewa melihat nasib Mahfud MD.

Wakil Sekretaris Jenderal PAN Faldo Maldini enggan berkomentar terkait yang terjadi dalam internal organisasi NU maupun soal kasus Mahfud MD. Terlebih, peluang suara NU yang bisa didapat oleh Prabowo-Sandiaga. Partai koalisi hanya ingin fokus menyusun narasi yang akan ditawarkan selama masa kampanye.

Sebab, Prabowo-Sandiaga tak bisa melakukan komparasi penuh terhadap sosok Joko Widodo karena kubu pejawat akan mengklaim telah melakukan kerja nyata. Beruntung, ada Sandiaga sebagai cawapres yang sebelumnya telah menjabat Wagub DKI Jakarta. "Sekali lagi, kami ingin fokus pada kerja kami," ucapnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement