Sabtu 25 Aug 2018 12:43 WIB

PUPR Optimistis Program Satu Juta Rumah Tercapai

Program satu juta rumah untuk mengatasi backlog.

Deretan rumah pada salah satu lokasi proyek pembangunan perumahan di Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (5/7).
Foto: Antara/Mohamad Hamzah
Deretan rumah pada salah satu lokasi proyek pembangunan perumahan di Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (5/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) optimistis pencapaian Program Satu Juta Rumah tahun 2018 lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya mengingat. Per 2018, program ini sudah membangun 582.638 unit.

"Kami optimistis karena masih punya waktu sekitar 4,5 bulan, di akhir tahun mencapai satu juta rumah dengan proporsi 60-70 persen rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)," kata Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Khalawi Abdul Hamid dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu (25/8).

Pada 2015, capaian program satu juta rumah sebanyak 669.770 unit dan tahun 2016 sebanyak 805.169 unit. Pada 2017, sebanyak 904.758 unit rumah terbangun.

Salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan rumah rakyat, Presiden Joko Widodo telah mencanangkan Program Satu Juta Rumah pada 29 April 2015. Program Satu Juta Rumah adalah adalah gerakan bersama oleh seluruh pemangku kepentingan bidang perumahan baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengembang perumahan, perbankan, perusahaan swasta dan masyarakat untuk mengatasi backlog perumahan di Indonesia.

Dirjen Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR Lana Winayanti mengatakan, jumlah backlog perumahan berdasarkan konsep penghunian sebanyak 7,6 juta unit pada 2015. Backlog ini ditargetkan turun menjadi 5,4 juta unit pada 2019. Sementara backlog perumahan berdasarkan konsep kepemilikan rumah sebanyak 11,4 juta unit pada 2015 yang ditargetkan turun menjadi 6,8 juta unit pada 2019.

Untuk meningkatkan jumlah pasokan rumah layak huni terutama yang terjangkau MBR, ada empat tantangan yang dihadapi. Pertama, tingkat keterjangkauan (affordability) MBR masih rendah baik membeli rumah dari pengembang, membangun secara swadaya maupun meningkatkan kualitas rumah yang tidak layak huni.

Kedua, ketersediaan dana dimana pola/skema pembiayaan perumahan bagi MBR terbatas. Ketiga, akses MBR ke sumber pembiayaan perumahan (lembaga keuangan) untuk mendapat kredit pemilikan rumah (KPR) masih terbatas. Terakhir, sumber dana pembiayaan perumahan masih bersifat jangka pendek sehingga tidak dapat berkelanjutan untuk KPR yang bersifat jangka panjang.

"MBR sebenarnya memiliki daya beli, tapi mengalami kesulitan akses, oleh karena itu pemerintah menggulirkan sejumlah program untuk memfasilitasi pembiayaan rumah bersubsidi," ujar Lana.

Program pembiayaan perumahan yang sudah berjalan adalah KPR Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan Subsidi Selisih Bunga Kredit Perumahan (SSB). Selain itu, ada pula Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM) dan Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT).

Dirjen Penyediaan Perumahan Khalawi AH menambahkan tantangan pembangunan rumah MBR yakni terbatasnya lahan murah khususnya di kota metropolitan. Kementerian PUPR tengah mendorong terbentuknya Land Banking System dan konsepnya yang sedang dikaji oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR).

Khalawi juga mengatakan Pemerintah tengah membahas perubahan regulasi mengenai hunian berimbang antara rumah menengah atas dan MBR yang harus dibangun pengembang untuk dapat mempercepat program satu juta rumah. 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement