REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Australia akan menambah kuota bagi warga Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja sambil berlibur di Australia. Hal itu menyusul kunjungan Perdana Menteri Australia, Scott Morrison ke Indonesia dan bertemu Presiden Joko Widodo.
Hal tersebut dikatakan Menteri Perdagangan, Pariwisata, dan Investasi Australia, Senator Simon Birmingham di sebuah program berita milik stasiun TV Sky News, pada Ahad (2/09).
"Ada penambahan sedikit jumlah untuk program itu jumlahnya tidak signifikan tapi akan memenuhi kebutuhan," ujar Senator Simon. "Beberapa ribu, beberapa ribu saja, tidak signifikan, tapi jumlahnya penting."
ABC telah mencoba mengkonfirmasi berapa jumlah pasti penambahan kuota, tetapi departemen yang dibawahi Senator Simon tidak memberikan penjelasan. Menurut Senator Simon, jumlah yang tidak signifikan ini tetap dianggap penting karena bukan hanya untuk memperkuat hubungan perdagangan dan ekonomi.
"Hubungan perdagangan juga memperkuat pemahaman di antara kedua negara dan dari sini kita akan memiliki hubungan keamanan yang lebih kuat dan potensi besar untuk lebih bekerja sama, serta bersama menjadi pemimpin di kawasan kita."
Pengamat: Persyaratan terlalu mahal dan banyak birokrasi
Program Working Holiday Visa (WHV) terbuka bagi mereka yang berusia 18-30 tahun untuk berpergian dan berlibur di Australia sambil juga mendapat pengalaman bekerja. Dari laporan Departemen Imigrasi dan Pengamanan Perbatasan Australia pada Juni 2017 lalu disebutkan warga Indonesia yang permohonan WHV telah disetujui adalah 1.000 orang, atau naik lebih dari 28 persen dibandingkan 2015-2016.
Pengamat Indonesia dari Indonesia Institute, Ross Taylor menyatakan pendapatnya soal rencana penambahan kuota WHV visa di akun Twitternya. Menurutnya program ini telah sukses mengajak pemuda Indonesia berkunjung ke Australia, sambil bekerja di perkebunan, di kafe, dan perawatan anak.
"Lewat perjanjian baru ini, tentu baik untuk meningkatkan quota kesempatan kerja sambil liburan, tetapi kriteria aplikasinya masih terlalu mahal, terlalu kompleks, dan terlalu 'banyak birokasi'," tulis Ross yang berbasis di Perth, Australia Barat.
Salah satu syarat yang perlu dipenuhi adalah memiliki bukti kepemilikan dana yang cukup untuk pengeluaran pribadi selama tiga bulan pertama. Jumlah itu termasuk untuk membeli tiket pesawat kembali ke Indonesia, yang nilainya setidaknya 5.000 dolar Australia atau lebih dari Rp 50 juta.
Namun menurut salah satu warga Indonesia yang pernah memiliki visa jenis ini persyaratan yang sudah ada sebenarnya sudah cukup. "Uang sebesar ini benar-benar dibutuhkan sebagai modal pertama tinggal di Australia yang lumayan mahal," ujar Agustina Salim kepada ABC Indonesia di Melbourne.
"Dari beberapa pengalaman saya dan teman-teman, jika membawa uang sedikit dan belum mendapatkan kerja, ini tentu malah menyulitkan diri sendiri dan teman-teman seangkatannya," ujarnya.
Agustina sendiri memutuskan untuk mengambil pelatihan di bidang kuliner setelah menyelesaikan program WHV selama setahun. "Saya tidak mau meneruskan untuk program tahun kedua karena harus bekerja di perkebunan, tapi pekerjaannya sangatlah berat secara fisik."
"Tidak ingin kembali ke Indonesia"
Agustina yang pertama kali datang ke Australia oada 2015 mengatakan banyak pemuda Indonesia yang tertarik untuk mengikuti WHV karena tergiur dengan nilai penghasilan yang lebih besar dibanding di Indonesia.
"Di Indonesia, gaji lulusan baru mungkin sekitar Rp 4-5 juta sebulan, tapi lewat program ini menjadi pelayan restoran bisa mencapai Rp 15-20 juta per bulan," katanya.
"Yang ada di pikiran hanyalah soal uang, hingga lupa bahwa tujuan WHV juga adalah untuk belajar, menambah keterampilan untuk dibawa kembali ke Indonesia."
Dari pengamatan pribadinya setelah mendengar cerita beberapa temannya di Australia, pola pikir inilah yang membuat beberapa pemegang WHV akhirnya tidak ingin kembali ke Indonesia. Agustina bahkan mengaku pernah mendengar beberapa peserta program WHV yang akhirnya melakukan segala cara agar bisa tetap tinggal di Australia.
"Karenanya saya bisa paham jika persyaratan bagi warga Indonesia sedikit lebih sulit dibandingkan dari negara-negara lainnya."