REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan tekanan eksternal maupun domestik menyebabkan terjadinya badai yang sempurna (perfect storm) dan menjadi pemicu terjadinya pelemahan rupiah terhadap dolar AS.
Sri Mulyani menyatakan badai yang sempurna itu berupa defisit neraca transaksi berjalan pada kuartal II-2018 sempat tercatat sebesar tiga persen terhadap PDB yang disertai guncangan ekonomi yang terjadi di Venezuela, Argentina, serta Turki.
"Pada Juli, impor tercatat tumbuh tinggi, dan CAD menjadi negatif. Ini menjadi kejutan. Maka ketika ada sentimen negatif, karena Argentina mendapatkan bantuan dari IMF dan terkait kondisi Turki saat ini, ada 'perfect storm'," katanya dalam rapat kerja Badan Anggaran di Jakarta, Selasa (4/9).
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kedua kanan), Menkumham Yasonna H. Laoly (kanan), Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro (kedua kiri) dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (kiri) mengikuti rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/9).
Ia menjelaskan kondisi yang terjadi di Argentina maupun Turki bisa menjadi risiko baru. Hal itu karena mulai terjadi pembalikan modal di berbagai negara berkembang, seiring dengan normalisasi kebijakan moneter dan kenaikan suku bunga oleh The Federal Reserve (Bank Sentral AS). Situasi tersebut bisa menganggu pergerakan kurs rupiah meski kondisi fundamental ekonomi Indonesia saat ini lebih baik dari Argentina maupun Turki.
Para pemilik modal, kata dia, bisa saja menganggap kondisi perekonomian Indonesia sama seperti Argentina dan Turki, yang saat ini, sama seperti Indonesia, tercatat sebagai negara G20. "Sekarang 'fund manager' besar, seperti (Franklin) Templeton yang memegang 'bond holder' 1,3 miliar dari Argentina melakukan 're-balancing'. Jadi walau belum tentu struktur ekonomi sama, mereka bisa saja melakukan 're-balancing'," kata Sri Mulyani.
Ia mengakui lingkungan ekonomi global yang menantang seperti ini masih dapat terjadi tahun depan. Hal itu diperkirakan dapat memberikan dampak negatif terhadap negara-negara berkembang pada 2019. Untuk itu, menurut dia, tidak mudah untuk menetapkan asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam RAPBN 2019, ketika pergerakan rupiah cenderung melemah dan kondisi global masih diliputi ketidakpastian.
Dalam menghadapi dinamika global, yang bisa dilakukan pemerintah adalah menciptakan instrumen fiskal yang efektif. Hal itu melalui penetapan asumsi makro yang kokoh agar APBN tidak menjadi sumber ketidakpastian baru.
Sebelumnya, pada pembahasan antara pemerintah dengan Badan Anggaran DPR RI pada pertengahan Juli 2018, asumsi nilai tukar RAPBN 2019 ditetapkan pada kisaran Rp 13.700-Rp 14.000 per dolar AS.
Namun, pada penyampaian Nota Keuangan dan RAPBN 2019, pada pertengahan Agustus 2018, asumsi nilai tukar rupiah justru keluar dari kisaran dan ditetapkan sebesar Rp 14.400 per dolar AS. Turbulensi berupa badai yang sempurna itu yang memengaruhi depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam beberapa bulan terakhir hingga mendekati Rp 14.900an.