Rabu 05 Sep 2018 06:16 WIB

Hasil Survei di Angka 3 Persen, Haruskah PKS Khawatir?

Hasil survei Y-Publica menempatkan PKS di posisi kedelapan dengan raihan 3 persen.

Rep: Antara, Mimi Kartika, Deddy Darmawan Nasution, Andrian Saputra/ Red: Andri Saubani
Presiden PKS Sohibul Iman (kiri) menyampaikan sambutan pada perayaan ulang tahun PKS di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Ahad (13/5).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Presiden PKS Sohibul Iman (kiri) menyampaikan sambutan pada perayaan ulang tahun PKS di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Ahad (13/5).

REPUBLIKA.CO.ID, Hasil survei Y-Publica untuk tingkat keterpilihan partai politik (parpol) menempatkan Partai Keadian Sosial (PKS) di posisi kedelapan. Lembaga survei itu menyebut elektabilitas PKS hanya berada di angka 3 persen, turun dari survei sebelumnya, 3,2 persen.

Survei Y-Publica terakhir dilakukan dari 13-23 Agustus 2018 dengan 1.200 responden yang dipilih secara multistage random sampling. Survei tersebut dilakukan dengan wawancara tatap muka dengan responden menggunakan kuisioner dengan margin of error sebesar 2,98 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.

Direktur Eksekutif Y-Publica Rudi Hartono, turunnya elektabilitas PKS, karena partai dakwah itu gagal mengajukan kadernya ikut dalam kontestasi Pilpres 2019. "PKS yang sempat mengajukan sembilan nama (capres) namun tidak ada yang jadi," kata Rudi, Senin (2/9).

Kondisi itu berbanding terbalik dengan PDIP dan Gerindra yang berhasil mengusung kadernya menjadi capres. Hasil survei Y-Publica menunjukkan bahwa PDIP dan Partai Gerindra menempati posisi pertama dan kedua dipilih masyarakat, lantaran keduanya menikmati efek ekor jas atau coat tail effect pencalonan Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto sebagai bakal capres.

"Elektabilitas PDI Perjuangan meningkat signifikan setelah pencapresan Jokowi, sama halnya Partai Gerindra yang berhasil mengusung dua kadernya yaitu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno sebagai bakal capres-cawapres," kata Rudi.

Hal serupa juga terjadi pada hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada Januari lalu. LSI menyebut, PKS memperoleh suara sebesar 3,8 persen. Padahal, untuk mendapatkan kursi di DPR, partai politik harus meraih minimal 4 persen suara sah nasional pada Pemilu Legislatif 2019.

Namun, peneliti politik LSI, Rully Akbar mengatakan, PKS masih memiliki kesempatan lolos ambang batas parlemen atau parliamentary threshold pada Pemilu 2019. Menurut dia, hasil survei elektabilitas PKS yang berada dikisaran angka 3 persen masih aman karena ada margin of error.

"Tetapi kan di sini masih ada margin of error jadi PKS kami anggap masih punya kesempatan untuk bisa lolos," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (4/9).

Rully menyebut, masih ada waktu yang dapat digunakan PKS untuk meyakinkan pemilih. Lanjut dia, jika PKS dan ketua partainya melakukan kebijakan-kebijakan politik yang dianggap populis bagi masyarakat maka akan ada perubahan terhadap elektabilitas partai.

"Jadi kami belum lihat lagi nanti ketika mereka sudah turun efeknya seperti apa," katanya

Rully juga menambahkan, posisi PKS yang berada di kubu pasangan calon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, tidak memengaruhi elektabilitas PKS. Sebab, PKS sudah konsisten berada di kubu oposisi sebelumnya. Selain itu, kata dia, PKS memiliki basis pemilih yang cukup militan sehingga mereka sudah sejalan dengan pandangan partai tersebut.

"Ketika sudah dinyatakan mereka mendukung Prabowo-Sandi, saya rasa otomatis di grass root pun juga punya pilihan yang sama jadi berbeda dengan pemilih yang lain istilahnya tingkat loyalitasnya tidak semilitan pemilih PKS ini," tutur Rully.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno mengatakan, sejak Pemilu 2004, 2009, dan 2014 partai Islam seperti PKS seringkali dipandang sebelah mata. Bahkan, diprediksi gagal masuk ke parlemen.

Namun, hasil-hasil survei tersebut seringkali meleset. PKS justru semakin kuat dan bisa masuk di parlemen dalam setiap kali Pemilu.

Di satu sisi, PKS merupakan partai modern yang tidak tergantung pada salah satu sosok politikus untuk menunjukkna kesolidan. Sebab, PKS sangat ditopang oleh aktivis serta kader yang terbangun sejak mengikuti berbagai pengajian berkelompok atau liqo dalam lingkup terbatas.

“PKS adalah partai yang penuh kejutan dan sulit diprediksi,” kata Adi, Selasa (4/9).

Adi mengungkapkan, sekalipun Ketua Umum PKS pernah menjadi tersangka korupsi, yakni Luthfi Hassan Ishaq pada 2013 lalu, PKS tetap dipilih dan punya suara tinggi. Hal itu karena kader partai di akar rumput sangat solid dan terus bergerak. Namun, kelebihan PKS itu masih memiliki kekurangan khususnya dalam manajemen konflik.

“Kelemahan PKS satu, yakni tidak punya manajemen konflik yang baik,” ujarnya.

Pandangan itu berkaca pada sosok Fahri Hamzah dan Mahfudz Siddiq yang seringkali bertentangan dengan PKS. Mereka berdua pun tak lagi bisa menjadi calon legislatif dari partai PKS meski merupakan salah satu pendiri partai. Adi mengatakan, hal-hal seperti itu yang membuat PKS tampak lemah dalam setiap penanganan konflik di internal partai.

Direktur Eksekutif Lembaga survei Public Opinion & Policy Research (Populi) Center, Usep Saiful Ahyar menilai, selain gagal mengusung kadernya dalam bursa pilpres, konflik internal juga berdampak negatif terhadap elektabilitas PKS. Usep mengatakan, faktor-faktor itu kontradiktif dengan citra yang ingin dibangun oleh PKS sebagai partai berbasis keislaman.

“Ada pengelompokan-pengelompokan konflik yang tidak kunjung selesai seperti masalah Fahri Hamzah,” katanya.

Baca juga:

Respons PKS

Direktur Pencapresan PKS Suhud Alyuddin yakin elektabilitas PKS akan meningkat dalam lima bulan ke depan. Ia pun mengkritisi hasil survei yang kerap meleset dengan hasil pemilu.

"Survei kan banyak dan beda-beda, kemarin surveinya Kedai Kopi menaruh PKS di 5,2 persen. Kita juga punya survei internal yang sudah di atas parlementary threshold," ujar Suhud, Selasa (4/9).

Suhud melanjutkan, dengan masuknya PKS dalam gerbong parpol koalisi pengusung pasangan Prabowo-Sandi turut juga berdampak pada elektoral partai meski tak sebesar yang dirasakan Gerindra. Suhud pun optimis PKS bisa memaksimalkan mesin partai untuk meningkatkan elektabilitas partai dalam lima bulan ke depan.

Margin of error kan harus dihitung juga kan bisa ke atas dan bisa ke bawah. Kalau dia sebut tiga persen kalau margin of error-nya ke bawah berarti 1 persen sekian ini kan tidak mungkin, logikanya nggak masuk,” tuturnya.

Suhud mengatakan, PKS berpegang pada pencapaian di Pemilu 2014 di mana elektabilitas PKS bisa mencapai 7 persen. Meski terdapat riak kecil di tubuh PKS dengan terjadinya kisruh Fahri Hamzah dengan Presiden PKS, Sohibul Iman hingga sejumlah kasus korupsi seperti yang baru menjerat Nur Mahmudi Ismail, namun menurut Suhud hal tersebut tak akan berpengaruh menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap PKS.

Suhud menegaskan, mesin partai PKS telah terbukti mampu bekerja baik dalam pilkada di sejunmlah daerah beberapa waktu lalu. Tak hanya itu, menurutnya, gerakan #2019GantiPresiden secara tidak langsung juga turut berdampak pada PKS.

“Memang faktor keuntungan kan ada di partai yang mempunyai capres dan cawapres pasti lebih berdampak itu. Tapi masih terlau dini, masih ada lima enam bulan lagi untuk mengubah peta elektabilitas,” tuturnya.

Hasil survei elektabilitas parpol versi Y-Publica

  1. PDI Perjuangan (27,6 persen)
  2. Partai Gerindra (12,4 persen)
  3. Partai Golkar (9,7 persen)
  4. PKB (5,9 persen)
  5. Partai Demokrat (5,3 persen)
  6. Partai Nasdem (3,7 persen)
  7. PPP (3,3 persen)
  8. PKS (3 persen)
  9. Perindo (2,9 persen)
  10. PAN (1,9 persen)
  11. Partai Hanura (1,9 persen)
  12. PSI (1,5 persen)
  13. PBB (1 persen)
  14. PKPI (0,9 persen)
  15. Partai Berkarya (0,6 persen)
  16. Partai Garuda (0,5 persen)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement