REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Flori Sidebang dan Priyantono Oemar
Ribut-ribut bau Kali Sentiong, mendorong Suwardi Hagani ikut berbuat sesuatu. Sebanyak 500 kilogram bubuk mikroba Deogone ia keluarkan untuk ditaburkan di Kali Sentiong.
Ia turun ke Kali Sentiong Ahad (29/7) dengan bendera HKTI Jakarta. Dr Tri Panji MS APU yang menemukan bubuk ini juga muncul di kegiatan tabur bubuk Deogone di Kali Sentiong itu. Di hari yang sama, dikucurkan juga ke Kali Sentiong cairan organik oleh Alumni UGM Jakarta. Perlu sepekan bubuk Deogone itu bereaksi untuk menghilangkan bau tak sedap dari Kali Sentiong.
Pada 2015, bubuk Deogone juga pernah ditaburkan di Kali Grogol. Sepekan setelah penaburan, terbukti bau busuk dari kali tak tercium lagi.
Deogone adalah serbuk yang berisi mikroba jamur, hasil riset peneliti mikrobiologi Tri Panji dan Ir Suharyanto sejak 2006. Pada 2014 telah mendapatkan hak paten. Bahan bakunya mikroba dari jamur pelapuk kayu di hutan-hutan Pulau Jawa.
Mikroba jamur ini dikembangbiakkan di Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia (PPBBI) untuk dijadikan bubuk dengan nama jual Deogone. "Bahan bakunya mudah ditemukan karena 100 persen bahannya dari dalam negeri," kata Suwardi Hagani, Sekretaris HKTI Jakarta, kepada Republika.co.id, Senin (6/8).
HKTI dan Pusat Penelitian Bioteknologi telah menjalin kerja sama. HKTI menjadi pihak yang mengedarkan deogone. Dalam Lembar Data Keamanan Bahan (LDKB), PPBBI dan Hagani Bioteknologi yang dikelola Suwardi Hagani tercatat sebagai produsen bubuk pembasmi bau busuk limbah cair itu. Dalam setahun diproduksi 5.000 ton bubuk, dengan kapasitas kemampuan produksi mencapai 1.000 ton bubuk per bulan.
Selain menghilangkan bau busuk limbah, Deogone juga bisa mengurangi secara alami kepekatan warna air limbah (biodekolorisasi) dan kadar racun air limbah (biodetoksifikasi). Tercatat juga bisa melakukan pemulihan air limbah (bioremediasi).
Cara penggunaannya sangat mudah. Cukup ditabur pakai tangan di atas permukaan limbah cair. Tak perlu diaduk maupun dilarutkan terlebih dahulu.
Namun, kata Suwardi, Deogone belum mengantongi sertifikat SNI, karena belum ada indikator penilaian yang memadai untuk produk jenis ini. "Mau pakai parameter standardisasi apa? Pembersih lantai atau pengharum ruangan? Kan nggak bisa," kata Suwardi.
Belum ada SNI bukan berarti menghalangi Deogone memberikan kontribusi bagi lingkungan. "Deogone telah lulus uji laboratorium dan diakui oleh Komite Nasional Akreditasi Penelitian (KNAP), sehingga aman untuk manusia dan ramah lingkungan," jelas Suwardi. Pusat Penelitian Bioteknologi pun telah mendapat akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional (KAN).
Menampik keraguan
Berbekal serfitikat SNI, kata Ashari, orang tak lagi bertanya soal kualitas produk kepadanya. "Proses transaksi lebih cepat, yang biasa mereka tanyakan bukan lagi tentang kualitas, melainkan tentang harga," ujar produsen mesin laundry Kanaba itu kepada Republika.co.id, Ahad (5/8).
Soal harga, menurut Ashari, mesin laundry dari Bantul ini berani bersaing. "Dibandingkan dengan mesin laundry produk impor dari Eropa atau Amerika, harganya bisa separuhnya. Tergantung mereknya," kata Ashari.
Di acara seminar bertema 'SNI untuk Pelaku Usaha dan UMKM' yang diadakan di Pluit, Jakarta Utara, Selasa (31/7), Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN) Bambang Prasetya sempat menyebut nama Kanaba. "Kanaba singkatan dari Karya Anak Bantul, merupakan contoh UMKM penerap SNI yang telah ekspor ke luar negeri," ujar Bambang.
Ashari di hadapan karyawannnya sebelum acara workshop SNI sistem manajemen lingkungan di bengkel mesin laundry-nya, CV Hari Mukti Teknik, Bantul (27/7). (Foto: Dokumentasi CV Hari Mukti Teknik)
Ashari mengatakan produknya bisa sampai ke Timor Leste dan Malaysia karena bantuan pihak ketiga. Mulai 2020, Ashari menargetkan bisa fokus menggarap pasar luar negeri.
Untuk mendapatkan sertifikat SNI, Ashari harus melakukan pembenahan total. Sebab, untuk mendapatkan produk yang berstandar mutu, manajemen perusahaannya juga diaudit. Saat itu tak ada karyawan Ashari yang bisa mengoperasikan komputer.
"Untuk standardisasi SNI-ISO adalah main data, maka seluruh tim manajemen berusaha sekuatnya untuk bisa pakai komputer dalam keseharian," jelas Ashari yang memulai usaha dari reparasi mesin cuci itu.
Lewat bendera CV Hari Mukti Teknik, Ashari bertemu BSN pada April 2014. Saat itulah ia berkomitmen menerapkan standar SNI di bawah bimbingan BSN. Saat itu, kantornya masih memanfaatkan teras rumah. Pada bimbingan kelima, Ashari mengaku baru paham hal yang harus ia lakukan. "Saat itulah diadakan perubahan tata laksana produksi sekaligus membuat ruang sebagai kantor," ujar Ashari.
Perubahan utama yang ia lakukan adalah menetapkan perlunya catatan laporan setiap kegiatan produksi. Termasuk catatan alur produksi, sehingga tidak terjadi inefisiensi akibat saling-silang proses. Bahan dari vendor yang akan dipakai untuk mesin laundry juga bahan yang sudah memenuhi standar mutu.
Di bagian kelistrikan juga perlu ada perbaikan. Sebelumnya ada arus pada ground akibat jarak pasang yang kurang lebar. Setelah dilakukan perubahan, maka lolos uji dari Balai Besar Barang dan Bahan Teknik (B4T) Bandung. "Alhamdulillah, akhir tahun 2016, Hari Mukti Teknik berhasil menerapkan manajemen mutu SNI-ISO 9001-2015," ungkap Ashari yang memiliki 50 karyawan itu.
Maryani, pemilik Bandeng 88 Marijo di Kelurahan Manarang, Kecamatan Mattiro Bulu, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, sering mendapatkan pertanyaan yang meragukan bandeng tanpa duri miliknya sebelum mendapatkan SNI. "Diduga memakai bahan pengawet, sehingga pembeli kurang berminat," ujar Maryani kepada Republika.co.id, Selasa (7/8).
Bau yang menyengat akibat sistem produksi yang belum standar dan bandeng masih berbau lumpur juga menjadi salah satu alasan pembeli ragu. Maka, untuk menepis keraguan itu, Maryani berkomitmen menerapkan standar SNI.
Langkah pertama yang ia lakukan adalah memperbaiki tempat produksi sehingga memenuhi standar. Sistem sanitasi tempat dan peralatan juga diperbaiki. Prosedur operasional standar pun disusun dan proses kerja pun dicatat rapi.
Para karyawan pun dibekali pengetahuan dan keterampilan mencabut duri bandeng dengan tetap menjaga kebersihannya. Hasilnya, tempat produksi tertata dan bebas dari serangga dan binatang lainnya. Tempat produksi yang higienis membuat produk tak mudah terkontaminasi.
"Sekitar delapan bulan bimbingan, sertifikat SNI kami terima dari lembaga sertifikasi produk (LSPro) dari Jakarta, yaitu pada tanggal 16 Juli 2014," ujar Maryani.
Maka, Maryani menikmati kejutan. Penjualan meningkat karena konsumen tak lagi ragu. "Kepercayaan konsumen meningkat karena cita rasa yang enak, produk higienis, tidak lagi bau, karena berproduksi dengan sistem rantai dingin," jelas Maryani.
Ais Soleha juga mengaku ada kenaikan penjualan setelah pempek bekunya mendapat sertifikat SNI. Tiga tahun berjualan pempek beku dengan nama Pempek Honey, ia mendapatkan SNI pada April 2018.
"Setelah produk kita ber-SNI, alhamdullilah, ada peningkatan penjualan 30 persen," kata Ais saat ditemui Republika.co.id di halaman parkir BPPT, Ahad (5/8).
Memulai bisnis secara daring, Ais mendapat tawaran BSN untuk menerapkan standar SNI. Ia pun tertarik dan menerima tawaran tersebut. Alasannya, untuk memperkuat rasa percaya masyarakat terhadap produk yang dia jual.
Menurut Ais, jika produknya telah ber-SNI maka masyarakat tidak akan ragu lagi membeli produknya tersebut. "Proses pengajuannya tidak sulit, tapi memerlukan waktu satu tahun," kata Ais.
Pempek Honey hadir di acara pemecahan rekor 18.818 porsi bakso bakso ikan ber-SNI di halaman kantor BPPT, Ahad (5/8). (Foto: Flori Sidebang/ Republika)
Waktu satu tahun tersebut ia gunakan untuk mengikuti standar dapur yang telah ditentukan oleh BSN. Mulai dari kebersihan tempat dan pakaian yang digunakan para karyawan, kebiasaan cuci kaki dan tangan, hingga kebersihan selama pengolahan pun diperhatikan.
"Jadi, semua karyawan sebelum masuk ruang produksi harus higienis dulu," ujar Ais. Kebersihan dapur dan bahan-bahan bakunya juga mendapat perhatian.