REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Universitas Indonesia (UI) kembali menambah jumlah Guru Besar Tetapnya, dengan mengukuhkan Dr A Harsono Soepardjo sebagai Guru Besar bidang Ilmu Fisika, Rabu (12/6), di Kampus UI, Depok, Jawa Barat.
Harsono merupakan fisikawan peneliti sel surya dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UI.
Dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar, Harsono menyampaikan sebuah pidato berjudul ''Penelitian Energi Sel Surya dan Aplikasinya di Indonesia''. Dalam pidatonya, ia mengatakan, sejak terjadinya krisis moneter di 1998, Indonesia mulai berpaling pada pengembangan energi fosil seperti minyak, batu bara, dan gas bumi. Sedangkan pemanfaatan energi dari sumber daya energi fosil tersebut, berpotensi merusak fungsi lingkungan hidup.
''Terutama gas rumah kaca yang dihasilkannya seperti CO2, SOx, partikulat, dan polutan lainnya, yang diyakini para ahli lingkungan sebagai penyebab meningkatnya pemanasan global,'' ujarnya, Rabu (12/6).
Sebagai seorang fisikawan, Harsono berkeinginan untuk mengembangkan ilmu fisika yang dapat diterapkan dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Salah satu upayanya adalah dengan meneliti energi sel surya, agar memiliki efisiensi yang lebih besar dan menjadi alternatif yang dapat menopang energi fosil.
Sebab berpotensinya pemanfaatan sumber daya energi fosil merusak fungsi lingkungan hidup, maka salah satu cara menggantikannya adalah dengan memaksimalkan pemanfaatan energi baru. Selain energi baru, pemaksimalan manfaat energi terbarukan pun dilakukan.
Energi baru dan terbarukan ini yaitu seperti, geothermal, air, biomassa, angin, mikrohidro, samudera, dan energi surya. ''Dan cara yang paling relevan bagi Indonesia adalah dengan memanfaatkan energi surya. Karena, Indonesia terletak di daerah tropis yang memiliki radiasi matahari cukup besar untuk dimanfaatkan,'' jelas Harsono.
Adapun rata-rata radiasi matahari di Indonesia, sebesar 4,48 Kwh per hari.
Harsono menerangkan, penelitian dengan bahan dasar sel surya silikon sudah banyak dilakukan sebelumnya. Namun, ia mencoba mencari diferensiasi penelitiannya, yaitu dengan meneliti sel surya dengan bahan dasar yang ongkosnya lebih murah dan daya serap radiasi matahari yang lebih besar.
Ia pun menjelaskan, sayangnya pemanfaatan energi sel surya di Indonesia masih mengalami pasang-surut. Harsono mengatakan, saat harga minyak naik, euphoria energi baru dan terbarukan, termasuk energi sel surya, langsung ramai dibicarakan. ''Tetapi, begitu harga minyak sudah diterima masyarakat, energi sel surya tidak diperhatikan lagi,'' katanya.
Terkait energi baru dan terbarukan, pria yang juga memimpin Magister Ilmu Kelautan FMIPA UI ini menyatakan pendapatnya. Harsono mengungkapkan, seperti Perpres nomor 5 tahun 2006 terkait kebijakan energi nasional untuk pemanfaatan energi baru dan terbarukan, sampai target 2025 implementasinya hingga kini belum berjalan baik.
Ia menambahkan, pembangunan energi di Indonesia pun sudah selayaknya diarahkan untuk memfokuskan kelestarian sumber energi jangka panjang. Tak hanya untuk jangka panjang, perhatian kelestarian juga penting untuk kebutuhan energi dalam negeri, peluang ekspor, keamanan dan keselamatan, serta kelestarian fungsi lingkungan.
''Maka, untuk mendukung itu semua perlu kemauan dan keseriusan dari pemerintah untuk implementasi energi surya. Sebab, sumber energi fosil, cepat atau lambat pasti akan habis,'' terangnya yang dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap UI yang ke-14 di tahun 2013 ini.