REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Indonesia dinilai masih kekurangan insinyur. Menurut Dekan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Pitojo Tri Juwono, minimnya tenaga ahli salah satunya disebabkan karena lebih dari separuh sarjana teknik bekerja di luar bidang teknik.
Menurutnya kondisi ini tidak bisa dipandang remeh apalagi saat ini sudah memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN. "Tenaga ahli masih didatangkan dari luar negeri sementara di Indonesia lulusannya masih di level sarjana teknik," jelasnya pada Jumat (22/7) di Malang.
Insinyur, lanjut Pitojo, memiliki level yang lebih tinggi ketimbang sarjana teknik. Mereka yang sudah menempuh pendidikan insinyur dibekali pengetahuan manajemen konstruksi, kode etik, dan jam praktik di industri yang lebih tinggi. Semua itu menjadikan insinyur bernilai jual lebih tinggi daripada sarjana.
Berdasarkan riset Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, rasio antara tenaga ahli dengan jumlah penduduk di Indonesia masih sangat kecil. Dalam satu juta penduduk Indonesia hanya terdapat sekitar 1.000 insinyur. Angka ini jauh jika dibandingkan Cina yang sudah memiliki 5 ribuan insinyur atau Malaysia yang punya 3.300 insinyur tiap satu juta penduduk.
Untuk mengejar ketertinggalan pembangunan dan menghadapi perdagangan bebas, tidak ada pilihan lain selain mencetak lebih banyak tenaga ahli di Indonesia.
Ia memandang jumlah tenaga ahli di Indonesia masih timpang jika dibandingkan anggaran infrastruktur yang digelontorkan pemerintah. Pitojo mencontohkan, anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan selama tiga tahun terakhir berkisar Rp 60 - 100 triliun.
"Dengan anggaran sebanyak itu dibutuhkan lebih banyak tenaga ahli untuk menggenjot pembangunan," ujarnya.