REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengatakan radikalisme kampus merupakan tamparan keras bagi dunia pendidikan. Salah satu pesan dalam temuan itu, yakni anak-anak muda milenial menjadi sasaran empuk berbagai kelompok radikalisme untuk menancapkan benih-benih pengaruhnya.
Ia menilai anak-anak muda yang tersebar di kampus-kampus tanah air sebagai primadona dan sekaligus target-audiens kelompok radikal. Ia menambahkan kelompok mana pun yang bisa meraih 'simpati' di kalangan anak-anak muda akan menentukan wajah, arah dan nasib umat Islam Indonesia ke depan.
Bahkan, dia menambahkan, eksistensi bangsa ini secara keseluruhan. "Tentu saja, gerakan kaum radikal dalam menyebarluaskan jejaring dan pengaruhnya tersebut tidak muncul tiba-tiba,” kata dia saat mengisi Diskusi Publik Lintas Generasi "Strategi Kebangsaan Mengatasi Radikalisme di Universitas" di Duren Tiga, Jakarta Selatan, Senin (11/06/18).
Ia mengatakan apa yang mereka peroleh saat ini merupakan dampak dari proses gerakan yang panjang. “Gerakan didesain dan disiapkan puluhan tahun silam," kata Bamsoet.
Bamsoet pun menyesalkan dugaan masuknya radikalisme ke dunia pendidikan. Bahkan, sejumlah kampus di tanah air disinyalir menjadi pusat pengembangan radikalisme yang bisa mengancam eksistensi Indonesia sebagai bangsa majemuk, toleran dan inklusif.
Bamsoet mengungkapkan, Hasil riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)-UIN Jakarta, melalui program Enhancing the Role of Religious Education in Countering Violent Extremism in Indonesia, menemukan radikalisme masuk secara sistematis. Ini merupakan upaya untuk menjadikan para insan akademis, termasuk di dalamnya para mahasiswa, dosen, dan pegawai, sebagai target utama penyebaran paham radikal.
"Ini sangat mengkhawatirkan," ujarnya.
Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini mengajak semua pihak melakukan refleksi sekaligus mengambil langkah konkret dalam mencegah radikalisme di kampus. Beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan antara lain, penguatan kapasitas dosen tentang wawasan nusantara dan komitmen kebangsaan.
Selaij itu, langkah lainnya, yakni mewajibkan mengaktifkan dosen sebagai penggerak wawasan ke-Indonesiaan dan kebangsaan dalam proses edukasi di kampus. "Birokrat kampus dan sivitas akademika juga harus memiliki persepsi yang sama tentang komitmen kebangsaan" kata Bamsoet.
Bamsoet menambahkan, para insan kampus wajib memperkuat mata kuliah tertentu, seperti penguatan tafsir kebangsaan dan ideologi negara. Penguatan ini tidak hanya dijadikan teori saja, tetapi juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
"Para dosen dan pendidik tidak boleh ada yang berideologi radikal. Karena itu, proses seleksi dosen menjadi kunci. Selain itu, setiap pengajar, pendidik serta dosen harus mampu merealisasikan nilai-nilai Pancasila," kata dia.
Bamsoet menegaskan radikalisme bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Bahkan, radikalisme merupakan musuh bebuyutan Pancasila.
Radikalisme sangat mencederai karakter bangsa Indonesia. Dalam konteks inilah, politikus Partai Golkar ini menekankan pentingnya penyebaran secara massif melalui berbagai media kreatif mengenai paham kebangsaan dan gerakan Muslim moderat.
"Menjadi muslim moderat berarti berjiwa terbuka, toleran, gaul, menghargai perbedaan dan sekaligus 'Islam banget’,” kata dia.
Dalam jiwa Muslim moderat, ia mengatakan, variabel kebangsaan sangat penting. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan bukti mereka menerima Pancasila secara kaffah.
“Tanpa ada sedikitpun keraguan dibenak mereka tentang Pancasila sebagai dasar negara, ideologi serta falsafah hidup bangsa," kata Bamsoet menguraikan.