REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Ketua Dewan Komisioner (DK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) periode 2017-2022, Wimboh Santoso dikukuhkan menjadi Guru Besar tidak tetap di bidang Ilmu Manajemen Risiko pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, di Auditorium GPH Haryo Mataram UNS, Senin (26/8). Wimboh menjadi ahli di Bidang Manajemen Risiko pertama yang dimiliki UNS.
Dalam mengukuhan tersebut, Wimboh menyampaikan pidato dengan judul 'Revolusi Digital: New Paradigm di Bidang Ekonomi dan Keuangan'. Judul pidato ini secara implisit akan memberikan gambaran pesatnya kehadiran teknologi telah merevolusi gaya hidup masyarakat yang mengakibatkan terjadinya pergeseran di tatanan ekonomi dan landscape sektor jasa keuangan yang akan menimbulkan distorsi dalam masa transisinya.
Kehadiran teknologi ini diharapkan menjadi solusi bagi peningkatan daya saing ekonomi dan terbukanya akses keuangan masyarakat. Namun disisi lain menimbulkan potensi risiko teknologi yang besar sehingga diperlukan pendekatan baru dalam melihat proyeksi ekonomi dan potensi risikonya terhadap stabilitas sistem keuangan serta perlindungan konsumen.
"Budaya digital telah menjadi lifestyle di masyarakat terutama kaum milenial di setiap aktivitas sehari-harinya di berbagai bidang, seperti bidang perdagangan, transportasi, pendidikan dan kedokteran. Fenomena ini dimanfaatkan oleh para enterpreneur sebagai peluang bisnis," terang Wimboh.
Berdasarkan laporan dari McKinsey tahun 2018 dan survei APJII tahun 2018, dari 265 juta penduduk di Indonesia, 178 juta merupakan pengguna telepon seluler. Sebanyak 171,17 juta orang merupakan pengguna internet dan 130 juta merupakan pengguna media sosial aktif.
Revolusi digital telah mendorong aktivitas kewirausahaan masyarakat yang ikut memacu pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, dunia usaha perlu mengadopsi perkembangan teknologi untuk mempertahankan daya saing.
Revolusi digital juga telah mengubah ekspektasi masyarakat terhadap produk dan layanan keuangan yang lebih mudah diakses, efisien, akurat dan mudah digunakan. Perubahan ekspektasi tersebut dimanfaatkan oleh penyedia layanan jasa keuangan berbasis teknologi dan memaksa industri keuangan tradisional untuk mengimbangi kecanggihan teknologi agar tidak ditinggal nasabahnya.
"Revolusi digital memang memberikan nilai tambah di bidang ekonomi maupun keuangan. Namun, di sisi lain ada beberapa potensi konsekuensi yang tidak diharapkan juga muncul," ujarnya.
Misalnya, kehadiran perusahaan fintech lending dapat berpotensi menghadirkan kompetisi yang tidak sehat, terutama bagi industri perbankan, perusahaan multifinance dan lembaga keuangan mikro. Selain itu, adanya risiko siber bagi sektor jasa keuangan.
Revolusi digital membuat ilmu ekonomi dan keuangan konvensional menjadi kurang relevan dengan semakin kecilnya informasi asimetris sehingga dinamika kebijakan dan kondisi pasar dapat dengan cepat ditransmisikan secara global. Untuk itu, dibutuhkan pendekatan baru bagi pemerintah dan otoritas keuangan yang lebih dinamis dan kontekstual agar manfaatnya dapat optimal namun risikonya dapat dimitigasi dengan baik.
"Adopsi teknologi dalam pendekatan pengaturan dan pengawasan industri jasa keuangan menjadi suatu keharusan," ujarnya.
Wimboh menambahkan, dengan kehadiran teknologi, ekspektasi masyarakat terhadap proses belajar mengajar mengalami perubahan. Hal itu memaksa dunia pendidikan perlu berevolusi dengan mengadopsi teknologi agar akses terhadap pendidikan semakin terbuka lebar bagi masyarakat.
Perguruan tinggi diharapkan dapat berkontribusi dalam mengedukasi dan memberdayakan masyarakat khususnya agar akselerasi inklusi keuangan yang dihasilkan dari adanya teknologi keuangan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di samping itu, peningkatan literasi keuangan melalui berbagai program pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh perguruan tinggi akan menghindarkan masyarakat dari aspek negatif di sektor keuangan seperti pinjaman ilegal, investasi bodong dan lain sebagainya.
"Tantangan besar bagi perguruan tinggi di era revolusi digital saat ini dan mendatang yang seharusnya telah menjadi konsen baik dari pemerintah, pimpinan perguruan tinggi maupun civitas akademika adalah potensi perubahan dalam proses pengajaran dan pembelajaran sebagai dampak dari revolusi digital," terang Wimboh.
Revolusi digital telah memungkinkan delivery dari pendidikan disampaikan secara daring. Penggunaan technological based-teaching and learning methods tersebut dapat berpotensi mengubah cara orang dalam memperoleh pengetahuan dan keterampilan dan jika tidak diantisipasi dengan cermat dapat berpotensi mendisrupsi perguruan tinggi. Oleh karena itu, perguruan tinggi diminta melakukan revitalisasi dan re-identifikasi keunggulan kompetitifnya dalam menghadapi revolusi industri 4.0 ini.