REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Maarif Institute kembali menggelar kegiatan Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK-ASM), yang tahun ini sudah memasuki tahun ketiga. Kegiatan itu diadakan di Depok Jawa Barat, 13-19 Desember 2019.
Tahun ini Maarif meloloskan 25 peserta terbaik dari 120-an jumlah pendaftar. Mereka datang dari berbagai provinsi yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara. “Mereka berasal dari Papua, Bima, Ambon, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jakarta, dan Madura,” kata Koordinator SKK-ASM, Moh Shofan dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Ia menambahkan, peserta yang mengikuti acara ini adalah para mahasiswa S1-S2, atau yang kini sedang menempuh program doktoral. “Untuk mengikutinya, para peserta diwajibkan membuat makalah mengenai tema-tema yang telah ditentukan dengan mencantumkan sejumlah sumber bacaan minimal lima buku karya Syafii Maarif,” ujar Shofan yang juga direktur Program Riset Maarif Institute.
Peluncuran buku karya Buya Ahmad Syafii Maarif menandai pembukaan Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK-ASM) III.
Shofan menjelaskan, salah satu tujuan diselenggarakannya kegiatan ini adalah untuk merawat pemikiran dan ide-ide Buya Syafii – panggilan karib Ahmad Syafii Maarif -- utamanya tentang tema-tema keislaman, kebangsaan, kemanusiaan, dan kebhinekaan. Kegiatan ini juga sebagai upaya serius untuk melakukan kaderisasi intelektual sekaligus melembagakan gagasan dan cita-cita sosial Buya, baik di ranah keislaman maupun kenegaraan yang mengusung nilai-nilai keterbukaan, kesetaraan dan kebhinekaan.
“Melalui Sekolah ini, diharapkan generasi muda Indonesia mendatang, dapat mewarisi pemikiran-pemikiran Buya. Atau, setidaknya memiliki perspektif dan sikap intelektual yang relatif sama dalam memotret dinamika, perubahan dan perkembangan kehidupan keberagamaan di Indonesia,” paparnya.
Agenda SKK III diawali dengan seminar pembukaan sekaligus soft-launching tiga buku, yaitu Merawat Pemikiran Buya Syafii, Keislaman, Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Merawat Indonesia, Refleksi Kritis Isu-isu Keislaman, Keindonesiaan dan Kemanusiaan, dan Kebinekaan Kita, Refleksi Kritis Anak anak Muda tentang Isu-isu Aktual di Indonesia. Buku-buku ini adalah karya anak-anak muda alumni SKK I dan II sebagai bentuk komitmen mereka atas kegiatan ini.
Acara ini dibuka, Jumat (13/12) oleh Menko PMK RI, Prof Dr Muhadjir Effendy MAP., yang diawali dengan penyampaian pidato kunci, sebagai pengantar seminar. Dalam pidatonya, Prof Muhadjir mengatakan bahwa pemikiran-pemikiran Buya merupakan khazanah intelektual yang sangat berharga.
Menko PMK RI, Prof Dr Muhadjir Effendy MAP, menyampaikan pidato kunci pada pembukaan Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan (SKK) III.
“Buya memiliki cita-cita besar dan terus-menerus gelisah terhadap krisis yang menerpa bangsanya. Karena itu, saya berharap, sikap intelektual, kebersahajaan dan keteladanan yang ada pada diri Buya bisa menjadi virus positif bagi segenap masyarakat di Indonesia, terutama di kalangan generasi muda —sebagaimana ini menjadi salah satu tujuan diselenggarakannya Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif, yang tahun ini sudah memasuki periode ketiga,” ujar Muhadjir.
Sementara Direktur Eksekutif Maarif Institute, Abd Rohim Ghazali, dalam sambutannya mengatakan, cerita kehidupan Buya, adalah cerita keteladanan, cerita seorang cendekiawan dengan kepribadian yang humanis, yang memandang bahwa setiap manusia harus dihormati sebagai seorang manusia seutuhnya, tanpa memandang agama, ras, suku, bahasa, atau budaya. Dan Islam, jelas Buya, adalah agama yang paling banyak bercerita tentang keluhuran budi manusia.
“Karena itu, saya berharap anak-anak muda yang mengikuti kegiatan ini, mampu melihat Buya sebagai sosok intelektual yang berani menyuarakan kebenaran, sosok teladan, bersahaja, dan guru bangsa yang menginspirasi,” kata Abd Rohim.
Sejumlah narasumber juga hadir dalam acara pembukaan seminar ini. Mereka antara lain, Prof Dr M Amin Abdullah, Prof Dr Azyumardi Azra, Prof Dr Siti Musdah Mulia, Prof Dr Abd Munir Mulkhan, dan Prof Dr Sumanto al-Qurtuby.