REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR - Rektor IPB University Prof Dr Arif Satria menyampaikan orasi ilmiah berjudul "Modernisasi Ekologi dan Ekologi Politik: Perspektif Baru Analisis Tata Kelola Sumber Daya Alam" pada presentasi orasi ilmiah guru besar tetap IPB University di Auditorium Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Kampus IPB University Drama Bogor, Sabtu (11/1).
Hadir pada upacara orasi ilmiah guru besar tetap IPB University ini, antara lain, Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Brojonegoro, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto dan Bupati Bogor Ade Yasin, undangan lainnya.
Guru besar tetap pada Fakultas Ekologi Manusia ini menjelaskan, Indonesia saat ini dihadapkan pada sejumlah krisis lingkungan, salah satunya disebabkan oleh limbah plastik yang tidak terurai.
"Berdasarkan hasil riset pada 2010, limbah plastik yang mengalir ke laut di 192 negara pantai, ada sekitar 4,8 juta ton hingga 12,7 juta ton per tahun. Indonesia adalah negara terbesar kedua yang menimbun limbah plastik setelah China. Indonesia menimbun limbah plastik sekitar 0,50 hingga 1,29 juta ton per tahun," katanya.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menurut Arif, dari sekitar 125 juta kawasan hutan, ada sekitar 35 juta hektar dalam kondisi rusak berat. "Dengan kondisi itu, Indonesia dapat berpotensi mengalami krisis air bersih pada 2025," katanya.
Arif menjelaskan, berdasarkan laporan Food And Agricultural (FAO) tahun 2018, menyebutkan, dampak dari krisis lingkungan dan perubahan iklim dapat menambah jumlah orang miskin hingga 100 juta jiwa, pada 2030, serta harga pangan akan naik menjadi lebih mahal.
Arif Satria juga menilai, krisis lingkungan dan sumber daya alam sesungguhnya adalah krisis tata kelola, yakni adanya kegagalan dalam mengatur aktor yang berkepentingan dalam sumber daya. "Di antara aktor yang memiliki kepentingan tersebut, posisi paling lemah adalah masyarakat," katanya.
Dalam pengelolaan sumber daya alam, menurut dia, masyarakat belum diperankan secara optimal, padahal di negara-negara dunia ketiga ada kecenderungan umum, banyak proyek nasionalisasi sumber daya alam yang menuntut peran negara lebih besar.