Senin 24 Jun 2013 20:21 WIB

Merawat Nilai Kepahlawanan

Cut Nyak Meutia (ilustrasi).
Foto: blogspot.com
Cut Nyak Meutia (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh  Asep Sapa'at

(Praktisi Pendidikan, Direktur Sekolah Guru Indonesia)

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Bangsa yang besar tak hendak membesar-besarkan dirinya. Itu pencitraan namanya. Bangsa besar punya reputasi besar. Mereka punya sosok pahlawan. Orang-orang biasa yang mampu melakukan hal luar biasa untuk Indonesia.

Kontribusi mereka total untuk bangsa. Meski tak sempat digelari pahlawan pun,saya pikir, nilai-nilai perjuangan hidup mereka mesti ‘dihidupkan’ dan diwariskan kepada generasi muda bangsa. Mengapa? Karena itulah bangsa yang besar. Pandai merawat nilai-nilai perjuangan pahlawan bangsa.

Apa yang diajarkan di sekolah-sekolah kita soal pahlawan dan nilai kepahlawanan? Dulu, saya masih ingat nama-nama pahlawan semacam Cut Nyak Dien, Teuku Umar, Sultan Hasanuddin, Sisingamangaraja, Pangeran Diponegoro, dan sejumlah nama pahlawan lainnya.

Sayang seribu sayang, saya baru sekadar hapal nama pahlawan. Soal inspirasi kepahlawanan? Nihil. Tak sedikitpun saya tergetar dengan kehebatan perjuangan mereka. Apalagi untuk mengikuti jejak kehidupannya. Ini bukan salah pahlawan bangsa. Saya pun tak mau dijadikan kambing hitam karena tak terinspirasi oleh kisah pahlawan Indonesia.

Metodologi pembelajaran satu arah dan monoton, dilengkapi dengan proses evaluasi yang hanya menagih kemampuan hapalan saja, hal ini sempurna menghilangkan cita rasa kepahlawanan yang mestinya bisa dicicipi anak muda bangsa.

 Tegasnya, dunia pendidikan dan persekolahan tak mampu wariskan inspirasi kepahlawanan kepada anak muda bangsa. Wajar jika hari ini mereka lebih kenal orang-orang yang mendadak populer yang belum terbukti berikan sumbangsih nyata untuk Indonesia, terutama soal keteladanannya. 

Idola mereka itulah pahlawan mereka. Bagi saya, itulah pahlawan kepagian, tak teruji nilai kepahlawanannya. Di masa pergerakan, pahlawan dipenjara karena berjuang melawan penjajah. Kini, idola yang dianggap pahlawan tiba-tiba dipenjara karena perbuatan tercela. Ironis, anak muda Indonesia tak bisa bedakan sosokpahlawan dan penjahat. Penjahat dinobatkan sebagai pahlawan, tapi pahlawan sesungguhnya malah tak dikenali dan diteladani sikap hidupnya. Alangkah lucunya anak muda di negeriku. Ini bukan salah anak muda di negeriku.

Pahlawan itu hidup masa lampau. Masa lampau itu jauh. Kita hidup di masa kini. Jadi, pahlawan di masa lampau tak perlu dijadikan idola masa kini. Mereka sudah usang ketinggalan zaman.Andai ada bangsa yang punya cara berpikir demikian, maka inilah bangsa yang merasa besar.

Kalau anak muda punya cara berpikir demikian, maklum saja, lha wong anak muda. Tapi, jika cara berpikir ini dimiliki para penguasa negeri dan pengambil kebijakan, kita mau bilang apa? Pahlawan itu sudah wafat, jasad mereka sudah masuk liang lahat. Tapi, cita-cita dan nilai-nilai perjuangan mereka harus tetap hidup. Bukankah itu cara terbaik kita menghargai jasa mereka?Mari gugat nurani sendiri, sudahkah kita sungguh-sungguh hormati dan hargai pahlawan bangsa?

Mari tengok sejenak apa yang terjadi di Jepang. Kenal sosok bernama Ninomiya Kinjiro? Anda tak kenal? Tak apa-apa. Saya jamin tak akan ada di soal ujian nasional. Anehnya, saya begitu tertarik menyimak kisah hidupnya. Ninomiya lahir tanggal 4 September 1787, wafat tanggal 17 November 1856. Di usia 16 tahun, beliau sudah jadi anak yatim piatu. Setelah ditinggal kedua orangtuanya, Ninomiya muda diasuh pamannya.

Paham dirinya anak yatim piatu dari orangtuanya yang miskin, dia didik dirinya untuk menjadi sosok yang tangguh dan mandiri. Saking miskinnya, Ninomiya tak mampu membeli alat penerangan untuk belajar di malam hari. Apa yang dia lakukan? Dia tangkap dan kumpulkan sejumlah kunang-kunang, lalu dia masukkan ke sebuah botol. Nah, kunang-kunang dalam botol itulah teman belajar Ninomiya di malam hari. Saya terharu, sungguh sangat terharu.

Kinjiro memang seorang pekerja keras. Di usia 20 tahun, dia sudah mendapat kepercayaan untuk mengelola lahan pertanian. Karena itulah dia mampu memperbaiki taraf kehidupannya. Yang fenomenal, Ninomiya diberi amanah oleh Daimyo--Penguasa teritorial yang kuat di Jepang pra-modern yang memerintah sebagian besar negara dari luas, kepemilikan tanah leluhur mereka—untuk memimpin wilayah Odawara kemudian provinsi Sagami. Saat masa kepemimpinanNinomiya, Odawara sedang dilanda bencana kelaparan.

Apa hebatnya Ninomiya? Dia menitahkan pembukaan lumbung umum untuk menyediakan pangan bagi penduduk yang kelaparan, kebijakannya berhasil mengatasi masalah di kala itu. Ninomiya Kinjiro, falsafah hidupnya begitu melegenda, ‘Kerja keras bukan sebagai beban, melainkan dinikmati sebagai pengabdian’. Perasaan saya begitu sangat terhanyut ketika menyimak kisah hidup Ninomiya, dan anehnya, saya sangat terinspirasi dengan kisah hidupnya.

Jika ukurannya adalah penghargaan kepada pahlawan, negeri matahari terbit ini layak disebut bangsa besar. Meski Ninomiya Kinjiro sudah tiada, tapi anak muda Jepang masih tetap akan merasakan kekuatan inspirasi dari si anak miskin pekerja keras, tokoh yang layak mereka idolakan. Saya jadi iri dibuatnya. Patung Ninomiya lazim ditemukan di sekolah-sekolah di Jepang, terutama sekolah dasar.

Patung tersebut berwujud anak lelaki yang sedang berjalan dan menggendong seikat kayu bakar. Jepang oh Jepang, sekecil apapun hal itu, jika bisa menginpirasi, maka sistem langsung mengatur strategi kebijakan agar nilai-nilai itu tetap hidup di sanubari masyarakatnya. Dan kisah Ninomiya Kinjiro menjadi nilai moral budaya Jepang yang dimanfaatkan praktik pendidikan untuk mengembangkan etos kerja. Fantastis. Bersyukurlah anak muda Jepang.

Pikiran kembali berpijak di bumi pertiwi. Mengapa kisah hidup Hoegoeng Imam Santoso, Bung Karno, Bung Hatta, M. Natsir, dan sejumlah pahlawan Indonesia lainnya tak melesak dalam hati sanubari anak muda Indonesia? Ungkapan bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya masih menggayut di benak.

Bangsa ini pernah punya tokoh pahlawan yang begitu melegenda, bagaimana mewariskan nilai-nilai kepahlawanan mereka kepada anak muda Indonesia? Jawabnya tentu bukan how to lie, seperti yang diperagakan sejumlah politikus negeri ini. Ambil sikap, lahirkan kebijakan, siapkan strategi untuk mendekatkan inspirasi nilai-nilai kepahlawanan dalam realitas keseharian anak muda Indonesia.

Siapa yang mesti lakukan? Jangan pura-pura tak tahu. Kita tak memilih Anda untuk berdiam diri. Anda yang diamanahi punya kekuasaan, ambil kebijakan terbaik untuk kebajikan pahlawan Indonesia di masa lalu dan anak muda Indonesia di masa depan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement