REPUBLIKA.CO.ID, MAKASAR -- Semua daerah yang ikut dalam prakonvensi ujian nasional (UN) di Makasar, menyepakati beberapa hal. Salah satunya, semua stake holders pendidikan di regional III tersebut sepakat, pencetakan soal UN dicetak di provinsi.
"Setelah sidang kelompok, semua peserta sepakat penggandaan soal UN dibuat di provinisi. Ini, masuk dalam rekomendasi konvensi UN nanti," ujar Dirjen Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Akhmad Jazidie, Senin (23/9).
Jazidie mengatakan, semua peserta Pra Konvensi Makasar melihat kekacaun pelaksanaan UN tahun ini, terjadi karena masalah pendistribusian soal. Belajar dari pengalaman tersebut, semua tak ingin hal tersebut terulang. Jadi, pencetakan soal diusulkan untuk dicetak di setiap provinsi.
"Kalau penanganan oleh pusat kan saat ada kesulitan dipendistribusian karena kecelakaan, repot semuanya tertunda," katanya.
Namun, kata dia, kalau penggandaan akan dibuat oleh provinsi, tak semuanya memiliki percetakan bagus. Oleh sebab itu, muncul konsep untuk penggandaan dibuat per-regional. Jadi, beberapa daerah yang tidak memiliki percetakan, penggandaan soalnya digabungkan dengan provinsi yang terdekat.
"Sebenarnya, usulan penggandaan soal dibuat oleh provinsi sudah mencuat sejak pra konvensi di Bali. Makanya, kami masukan usulan ini ke rekomendasi konvesi," katanya.
Jazidie mengatakan, prinsipnya Kemendikbud tak keberatan kalau penggandaan soal UN dibuat di provinsi. Tapi, master soalnya tetap dari pemerintah pusat. "Tapi keputusannya tetap menunggu konvensi UN nasional," katanya.
Selain mengenai pencetakan soal, menurut Jazidie, pra konvensi UN di Makasar merekomendasikan agar penentuan kelulusan 50 persen dari UN dan 50 persen berasal dari satuan pendidikan. Saat ini, posisinya 60 dari UN dan 40 dari satuan pendidikan.
"Di Bali, malah ada yang mengusulkan porsi UN lebih besar yaitu 65 persen UN dan 35 ujian sekolah. Jadi, ini belum final melihat mana yg dikehendaki masyarakat," katanya.
Menurut Jazidie, semangat yang terpenting pada pra konvensi UN ini adalah bagaimana menyelengarakan UN yang kredibel dan akseptable. Selain itu, yang paling penting kejujuran masyarakat lagi. "Tak boleh ada mark up nilai. Saya masih percaya, Indonesia masih punya hati," kata Jazidie.
Saat ditanya tentang UN yang sering dipolitisasi oleh pemimpind di daerah, Jazidie mengatakan, kelulusan UN sebaiknya jangan menjadi ukuran kinerja kepala dinas pendidikan. Namun, yang dilihat ikhtiarnya yaitu bagaimana upaya untuk membangun ruang kelas baru (RKB) dan lain-lain.
"Kelulusan UN di suatu daerah, jangan jadi patokan kinerja kepala dinas lagi," katanya.
Sementara menurut Sekretaris BNSP (Badan Nasional Standar Pendidikan), Ramli Zakaria, untuk mencegah UN dipolitisasi oleh kepala daerah, pihaknya sudah bekerja sama dengan Kemendagri. Jadi, semua kepala daerah menandatangani fakta integritas terkait hal itu.
"Kami berharap, setelah kerja sama dengan Kemendagri tidak ada upaya politisasi lagi," katanya.