REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masih dalam nuansa memperingati HUT Kemerdekaan RI yang ke-71, Indonesia Bermutu (IB) menggelar diskusi bulanan (Sawala IB) di SMA Binaputera, Rancasumur, Kopo, Serang, Banten, Ahad (11/9/2016). Salah satu yang menjadi sorotan saat ini adalah komitmen Pemerintahan Jokowi yang dituangkan dalam Nawacita, terutama pada point (3) yaitu "Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan".
Terkait dengan itu, Mendikbud Muhajir Effendi dalam pidato sambutan peringatan HUT Kemerdekaan RI yang dibacakan oleh semua inspektur upacara di jajaran Kemdikbud, Dinas Pendidikan, dan Satuan Pendidikan se-Indonesia, antara lain menyatakan komitmen kementeriannya, yakni "memastikan bahwa setiap anak Indonesia, tanpa ada diskriminasi, mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Kesenjangan layanan pendidikan harus diperkecil."
Pembina dan Peneliti IB Deni Hadiana mengemukakan, IB senantiasa mengingatkan dan mengawal agar terjadi konsistensi antara kebijakan atau janji politik Kementerian Pendidikan dengan tindakan nyata. Membangun pendidikan dari pinggir sangat sesuai dengan visi dan misi IB.
“Bagi IB, indikator keberhasilan seorang Mendikbud itu sederhana, yaitu jika Beliau mampu menjadikan sekolah kampung tidak kampungan, sekolah pinggiran tidak terpinggirkan,” kata Deni Hadiana dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Selasa (13/9/2016).
Menurut Deni, sebuah sekolah dikatakan bermutu apabila biayanya murah, dan mudah diakses oleh siapapun. Negara sudah menjamin bahwa siapapun warga negara berhak mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu.
“Dengan demikian, sekolah menjadi tempat yang ramah kepada semua anak, aman, nyaman, terbebas dari intimidasi, dan tekanan birokrasi karena sekolah bukanlah perpanjangan tangan pemerintah (birokrat),” tutur Deni Hadiana.
Praktisi Pendidikan dan pendiri lembaga pendidikan Binaputera, Kopo, Serang, Banten, Akhmad Supriyatna menyoroti bantuan pemerintah terhadap sekolah yang dinilainya tidak adil. "Selama ini layanan pemerintah terbalik, sekolah yang dibantu dan dibina selalu sekolah-sekolah yang sudah bagus, sementara sekolah pinggiran makin terpinggirkan,” kata Akhmad Supriyatna.
Menurut Supriyatna, pola-pola pembinaan yang bersifat "mercusuar" sebagaimana selama ini dilakukan terhadap Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI), Sekolah Standar Nasional (SSN), dan sekarang Sekolah Rujukan harus segera ditinjau kembali. “Pola bantuan seperti itu justeru makin memperbesar gap antara sekolah bagus diunggulkan dengan sekolah pinggiran, walaupun sama-sama negeri,” kata Supriyatna yang juga Peneliti IB.
Ironisnya, kata Supriyatna, justeru sekolah negeri yang diskriminatif, dan sekolah swasta yang lebih manusiawi. “Seharusnya, semua sekolah negeri bermutu dan berkualitas sama, dan penerimaan siswanya tanpa seleksi. Negara harus hadir di tengah-tengah masyarakat yang lemah, baik lemah secara ekonomi maupun lemah dalam prestasi. Kalau kita sudah bisa mengatasi yang lemah, yang kuat akan maju dengan sendirinya,” tutur Akhmad Supriyatna.
Peneliti IB Zulfikri Anas mengutip Permendiknas Nomor 63 Tahun 2009, tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Pasal (3), ayat (1), point (a) yang menyatakan bahwa "Penjaminan mutu pendidikan menganut paradigma: pendidikan untuk semua yang bersifat inklusif dan tidak mendiskriminasipeserta didik atas dasar latar belakang apa pun.” “Ini menunjukkan bahwa pemerintah siap untuk membangun pendidikan bermutu untuk semua,” kata Zulfikri.
Untuk itu, kata Zulfikri, pemerintah sudah harus membangun paradigma yang sama di jajarannya agar jangan terjadi penyimpangan dari apa yang telah ditetapkan. “Pemerintah berkewajiban untuk mendekatkan pelayanan bermutu kepada peserta didik di manapun mereka berada. Bukan mereka yang mencari, tapi sekolah yang menghampiri,” ujarnya.
Menurut Zulfikri, bantuan-bantuan yang selama ini terfokus kepada sekolah-sekolah yang berakreditasi A telah meminggirkan sekolah yang lain. “Akibatnya, sekolah yang berakreditasi A itu makin naik pamornya. Dan sejalan dengan naiknya pamor, sekolah itu makin sulit diakses oleh masyarakat,” kata Zulfikri.
Dampak selanjutnya, hanya orang-orang tertentu yang dianggap "layak" dan "pintar" saja yang bisa masuk. “Mereka yang lemah tersingkir. Akhirnya, sekolah menjadi tidak ramah kepada anak,” tutur Zulfikri.
Praktisi dan aktivis IB Afrizal Sinaro menegaskan bahwa pendidikan akan bermutu apabila kembali ke kaidah agama dalam mengelolanya. “Agama Islam memandang bawa pendidikan bermutu bukan terletak pada megahnya gedung dan lengkapnya sarana, melainkan pada kinerja para pendidiknya, dan kurikulum yang digunakan,” ujar Afrizal Sinaro.
Mengacu kepada paradigma Islam dalam pendidikan, kata Afrizal, ada dua hal pokok dalam pendidikan, yaitu Nabi dan Risalah. “Artinya, bila kita mengikuti itu, maka yang terpenting dalam pendidikan adalah pendidik (guru) dan ajaran yang disampaikan (kurikulum),” tuturnya.
Untuk itu, kata Afrizal, Kemendikbud harus membangun mindset yang benar kepada jajarannya, terutama guru. Guru harus memiliki keyakinan yang kuat bahwa dirinya adalah penentu keberhasilan pendidikan, bukan sarana fisik. “Bila gurunya bermutu, apapun kondisi anak didik dan sekolahnya akan tetap bisa menghasilkan anak-anak yang bermutu,” papar Afrizal Sinaro.