Ahad 10 Feb 2019 17:53 WIB

Mendikbud Akui Lebarnya Ketimpangan Pendidikan di Indonesia

Mendikbud kemarin memberikan kuliah umum di Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Rep: Eko Widiyatno/ Red: Andri Saubani
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.

REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengakui Indonesia masih menghadapi ketimpangan dalam bidang pendidikan. Hal itu disampaikan Mendikbud saat menyampaikan kuliah umum di Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Sabtu (10/2).

Dia menyebutkan, ada berbagai faktor yang menyebabkan ketimpangan pendidikan masih sedemikian lebar. Luas wilayah Indonesia yang demikian luas dan terpisah-pisah dalam bentuk negara kepulauan, menyebabkan ketimpangan masih sulit diatasi.

"Harus kita akui, disparitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat luas," jelasnya.

Misalnya, dalam hal revolusi industri 4.0 yang saat ini tengah berlangsung di negara-negara maju. Mendikbud menyebutkan, di Indonesia mungkin baru beberapa daerah yang sudah mulai terintervensi ciri revolusi industri industri 4.0. Antara lain, dalam hal penggunaan saluran internet.

"Namun untuk wilayah-wilayah lain seperti sebagian Papua, Maluku, NTT, dan beberapa wilayah di Kalimantan, jangankan mengenal teknologi 4.0. Untuk yang lebih rendah pun, mungkin belum semua paham," jelasnya.

Untuk itu, Mendikbud mengaku, bila kalau penduduk di Pulau Jawa makin cepat mengadopsi teknologi 4.0, maka ketimpangan penguasaan iptek ini akan semakin besar. Menurutnya, ada berbagai faktor yang menyebabkan masalah ketimpangan pendidikan ini masih menjadi persoalan yang berat untuk diatasi. Antara lain, masalah cakupan layanan teknologi informasi yang belum merata hingga wilayah-wilayah perbatasan.

Sementara untuk membangun infrastruktur agar layanan teknologi informasi ini bisa merata di seluruh wilayah Indonesia, dibutuhkan investasi yang sangat besar. "Dari data perhitungan yang saya peroleh, dibutuhkan investasi sekitar Rp 40 triliun agar seluruh wilayah NKRI ter-cover jaringan internet," katanya.

Demikian juga dalam hal layanan transportasi, Mendikbud menyebutkan, terbatasnya sarana infrastruktur antar pulau dan juga jaringan jalan di wilayah terluar, menyebabkan pengembangan infrastruktur lainnya juga menjadi terhambat. "Sulitnya transportasi ini, antara lain menyebabkan biaya untuk membangun sekolah di daerah pelosok menjadi jauh lebih mahal dibanding di perkotaan,'' katanya.

Misalnya, untuk membangun sekolah di Jawa paling hanya dibutuhkan biaya Rp 2 miliar, maka untuk membangun sekolah di Papua membutuhkan biaya hingga Rp 6 miliar. Kondisi seperti ini, menurut Mendikbud, tidak mungkin diatasi hanya dalam satu atau dua tahun, melainkan, hingga beberapa waktu ke depan.

"Hal ini tentunya juga menjadi generasi muda atau mahasiswa yang ada saat ini, untuk mengatasi masalah disparitas pendidikan tersebut," katanya.  

Dalam kuliah umum tersebut, Mendukbud juga mengaku kagum dengan perkembangan UMP yang dinilai maju pesat. ''Beberapa tahun lalu saat saya datang ke kampus ini, masih belum seperti sekarang. Saya benar-benar terkesan dengan kemajuan UMP yang saat ini memiliki 13 ribu mahasiswa dengan tiga komplek kampus besar," jelasnya.

Dalam kesempatan itu, Mendikbud juga meminta agar UMP terus mengembangkan kegiatan ilmiah mengingat kegiatan ilmiah merupakan ruh dari perguruan tinggi. ''Perguruan tinggi besar tanpa kegiatan ilmiah, hanya akan menjadi perguruan tinggi besar tanpa ruh. Untuk itu, UMP harus terus mengembangkan kegiatan ilmiah agar bisa menjadi tradisi,'' jelasnya.

Rektor UMP Dr Syamsuhadi Irsyad, dalam kesempatan itu menyampaikan terima kasih atas kesediaan Mendikbud menyampaikan kuliah umum di UMP. ''Sedikit banyak saya sedikit tahu, Bapak Muhadjir ini yang telah mempelopori Universitas Muhammadiyah Malang yang menjadi besar seperti sekarang ini,'' katanya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement