REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Reni tak kuasa menahan haru saat melihat para siswanya berlarian memeluk ayah ibu mereka. Namun, di tengah keharuan itu muncul rasa sedih yang mengiris ketika melihat para siswa yatim piatu hanya bisa melihat momen itu dengan linangan air mata. Ya, mereka tak lagi punya 'rumah' untuk pulang.
Reni Rahayu, dara asal Agam /Padang (Sumatra Barat) ini sudah lima bulan bertugas di MI Muhammadiyah 2 Bandung. Di sana Reni mengemban amanah sebagai Konsultan Relawan Sekolah Literasi Indonesia (Kawan SLI).
Dialah ujung tombak pelaksana program, tugasnya memastikan program SLI ini berjalan optimal dan sesuai perencanaan. Setiap hari Reni dituntut piawai untuk mendampingi dan menjadi kawan diskusi bagi para guru dan kepala sekolah, agar program peningkatan kualitas pembelajaran dengan pendekatan literasi ini dapat terlaksana sukses di sekolah mereka.
Berada jauh dari rumah selama satu tahun penuh menjadi 'siksaan' tersendiri bagi Reni. Rumah tidak hanya berarti bangunan bagi Reni, tapi rumah juga berarti pelukan ibu yang menguatkan jiwanya setelah lelah berpetualang.
Namun ada satu kenyataan yang menghentak Reni sehingga ia memilih untuk menguatkan diri dari keinginannya kembali ke rumah. Reni teringat siswa-siswinya yang tak lagi punya rumah untuk pulang.
“Bicara tentang rumah mengingatkan saya kepada anak-anak panti asuhan yang banyak bersekolah di MI Muhammadiyah 2 Bandung, mulai dari Kelas 1 hingga Kelas 6. Kebanyakan dari mereka yatim piatu. Sebenarnya tidak sedikit yang masih memiliki ayah dan ibu, namun karena tuntutan ekonomi mereka harus dititipkan ke panti asuhan,” papar Reni.
Ada satu peristiwa di sekolah yang membuat Reni tersentuh. Hari itu, Sabtu, 19 Januari 2019, Reni dan teman-teman guru di MI Muhammadiyah 2 Bandung mengadakan Seminar Parenting dengan tema 'Mempersiapkan Anak Menyonsong Masa Depan'. Acara ini menghadirkan orang tua dari para siswa. Klimaks dari seminar pengasuhan ini adalah penampilan dari Kelas 6 yang menyanyikan lagu tentang Ayah dan Ibu.
Belum setengah dari lagu mereka nyanyikan, suasana langsung berubah sendu. Satu per satu dari anak-anak Kelas 6 ini mulai meneteskan air mata. Begitu juga dengan orang tua dan para guru. Reni yang saat itu bertugas untuk mendokumentasikan acara pun tak pelak ikut haru.
“Sambil berusaha menahan air mata yang siap tumpah, saya pegang kamera sambil mengabadikan momen haru itu. Tapi rasa rindu pada rumah malah terbawa hanyut oleh setiap lirik lagu yang anak-anak nyanyikan, jadilah saya ikut nangis juga,” kenang Reni.
Momen epik pun tercipta setelah lagu selesai dinyanyikan. Anak-anak langsung berlari ke orang tua mereka masing-masing kemudian berpelukan erat. Namun di tengah keharuan yang membahagiakan itu, ada satu hal yang menyedot fokus Reni.
“Saya langsung melihat siswa-siswi yatim piatu, mereka hanya bisa duduk diam sambil meneteskan air mata di atas panggung karena tidak bisa menemukan sosok ibu atau ayahnya. Akhirnya kami, guru-guru dan wali kelas naik panggung dan langsung merangkul mereka untuk menunjukkan bahwa mereka juga punya orang tua yaitu kami ini, guru mereka,” kata Reni.
Dari momen itulah Reni merasa bahwa kerinduannya terhadap rumah ternyata belum seberapa dibandingkan anak-anak itu yang tidak lagi punya 'rumah' untuk pulang. Reni pun mengajak pada untuk selalu mendoakan orang tua, karena merekalah sejatinya rumah tempat kita pulang.