Rabu 10 Jul 2019 15:05 WIB

Media Sosial Bisa Menjadi Alat Diplomasi Kebahasaan

Media sosial bisa dimanfaatkan untuk menyebar konten positif mengenai kebahasaan.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Yudha Manggala P Putra
Akses media sosial melalui ponsel (ilutrasi)
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Akses media sosial melalui ponsel (ilutrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Sutrisna Wibawa mengungkapkan penggunaan media sosial dapat berfungsi sebagai diplomasi publik. Media sosial bisa menjadi alat kekuatan lunak untuk mempengaruhi pengguna lainnya dalam membuat dan berinteraksi dengan pesan.

"Keberhasilan diplomasi ditandai banyaknya respons suka (like) dan komentar (comment) pada gambar dan keterangan gambar (caption) yang dibuat," kata Sutrisna, dalam Seminar Internasional Kebahasaan, di Jakarta, Selasa (9/7).

Sehingga, ia mengatakan Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan juga harus berada di media sosial. Guru Besar Filsafat Jawa ini berharap konten-konten positif mengenai kebahasaan dan kesusastraan yang disebarluaskan lebih menggaet generasi milenial, yaitu generasi Y (lahir sekitar tahun 1980 sampai dengan 1995) generasi Z (lahir sekitar tahun 1995 sampai 2010).

"Media sosial memang dirancang bukan untuk hal-hal serius dan berat. Tetapi kita juga bisa menggunakannya sebagai media untuk mencari dan mendapatkan ilmu pengetahuan. Cuma kemasannya, penyajiannya harus dibuat ringan dan menyenangkan," ujar Sutrisna.

Pemahaman yang sama diungkapkan Pradipta Dirgantara, salah satu pemakalah dalam seminar internasional kebahasaan ini. Ia mengakui peran media sosial sangat penting dalam pengembangan program diplomasi kebahasaan.

Ia mencontohkan program Kalawarta yang disiarkan oleh TVRI Jawa Barat yang sempat diasuhnya menggunakan Facebook untuk meningkatkan interaksi dengan audiens. Dengan demikian, program tersebut selain dapat dinikmati oleh pemirsa di wilayah Jawa Barat, juga dapat dinikmati oleh audiens di luar negeri.

"Kira-kira satu dari sepuluh penonton acara kita menonton dari luar negeri melalui streaming. Mereka orang Sunda yang tinggal di luar negeri yang kangen mendengar percakapan dalam bahasa Sunda," ujar Pradipta.

Lebih lanjut, Pradipta berharap agar semakin banyak media televisi lokal mengangkat program kebahasaan. Misalkan berita atau gelar wicara yang menggunakan bahasa daerah masing-masing. Media sosial dapat digunakan untuk meningkatkan interaksi penonton yang juga merupakan warganet yang didominasi milenial.

"Sebanyak 26 persen dari penonton punya aktualisasi diri sebagai bahasa daerah yang bisa dibanggakan. Jadi ketika mereka ngomong, mereka bangga pakai bahasa daerah," kata dia lagi.

Menurutnya, akun media sosial pemerintah memang perlu membangun kedekatan dengan warganet yang didominasi generasi milenial. Namun, ia berharap agar akun-akun tersebut tidak terjebak dengan tren penggunaan bahasa Indonesia yang kurang baik saat berinteraksi dengan warganet.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement