Selasa 10 Sep 2019 08:05 WIB

BPIP Usul Buku Pendidikan Sejarah Direvisi

Revisi harus dilakukan dengan melibatkan guru-guru sejarah.

Plt Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Hariyono (nomor dua dari kanan, berkacamata) menjelaskan mengenai kegiatan sosialisasi nilai-nilai Pancasila kepada wartawa di Gedung Kantor Pusat Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Senin  (19/8). BPIP menggelar sosialisasi nilai-nilai Pancasila di 19 lokasi di Solo, sebanyak 13 lokasi berada di UNS.
Foto: Republika/Binti Sholikah
Plt Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Hariyono (nomor dua dari kanan, berkacamata) menjelaskan mengenai kegiatan sosialisasi nilai-nilai Pancasila kepada wartawa di Gedung Kantor Pusat Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Senin (19/8). BPIP menggelar sosialisasi nilai-nilai Pancasila di 19 lokasi di Solo, sebanyak 13 lokasi berada di UNS.

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Hariyono menyarankan agar buku pendidikan sejarah di sekolah diperbaiki. Dorongan ini tak lepas dari temuan dan fakta baru dalam ilmu kesejarahan.

Menurut Hariyono, perbaikan ulang buku pendidikan sejarah itu penting dilakukan. Pasalnya, isi pembelajaran sejarah selama ini lebih sering menonjolkan Indonesia sebagai objek atau penerima budaya semata. “Bukan sebagai subjek berkembangnya sebuah peradaban,” kata dia di Kota Malang, Senin (9/9).

Baca Juga

Hariyono mencontohkan bagaimana penempatan budaya Dongson dalam buku sejarah. Perkembangan budaya ini lebih dikenal terjadi di Lembah Song Hong, Vietnam. Padahal, kata dia, karakter Dongson sudah terlebih dahulu hadir di Ternate sehingga usianya lebih tua.

Contoh lain, kata dia, terkait relief alat musik yang tertera di Candi Borobudur. Relief itu menjabarkan sejumlah peralatan musik di masa lampau, seperti kendang, seruling, dan sebagainya. Alat-alat ini sekarang ternyata tidak hanya digunakan di Indonesia, tapi juga negara lainnya.

Dari fakta baru tersebut, muncul sejumlah pertanyaan di dalam kebudayaan Indonesia. “Apakah alat musik itu dibawa bangsa luar ke Indonesia atau nenek moyang kita yang membawa dan memperkenalkan itu ke berbagai negara,” ujar guru besar sejarah politik Universitas Negeri Malang (UM) ini.

Menurut Hariyono, temuan baru tersebut jelas menjadi fakta yang harus digali. Pasalnya, sejarah pada dasarnya bukan sekadar mengenang masa lalu, melainkan menjadi rujukan bagi masyarakat untuk lebih baik lagi ke depannya.

Dia mengajak, seluruh masyarakat terutama peminat sejarah untuk mengubah pola pikirnya terkait Indonesia. Indonesia nyatanya bukan sekadar objek maupun penerima budaya semata, melainkan sebuah negara yang juga menjadi subjek dalam peradaban dunia.

Dia juga mendorong agar hasil penelitian sejarah dapat membangun kepercayaan diri bangsa. Sebab, Hariyono meyakini, banyak penelitian menunjukkan Indonesia sesungguhnya berperan aktif dalam perkembangan kebudayaan.

Pengamat pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Said Hamid Hasan menilai, buku teks pelajaran sejarah Indonesia perlu direvisi. Buku pendidikan sejarah perlu lebih menonjolkan peran bangsa Indonesia dalam mengembangkan budayanya.

Said mengatakan, Indonesia sebenarnya memiliki peran yang juga besar dalam perkembangan budaya dan agama Hindu, Buddha, Islam hingga Kristen. Menurut dia, memang perlu diperjelas peran-peran penting Indonesia di dalam buku pendidikan sejarah.

“Perlu diperjelas peran bangsa ketika menerima dan mengembangkan agama tersebut, mendirikan kerajaan, mengembangkan budaya Indonesia-Hindu, Buddha-Islam-Kristen,” kata Said.

Guru besar Pendidikan Sejarah UPI ini mengatakan, penegasan ini bukan berarti tidak ada peran orang India, Arab, Eropa, seperti yang tertulis pada buku selama ini. Namun, peran Indonesia pun cukup besar sehingga harus diperkuat.

Dia menuturkan, pendidikan sejarah adalah salah satu sarana untuk pendidikan karakter bangsa. Sejarah adalah perjalanan hidup bangsa. Oleh karena itu, dengan menunjukkan peran Indonesia dalam budayanya sendiri melalui pendidikan sejarah bisa membangun karakter bangsa yang percaya diri.

Selama ini, menurut dia, buku pendidikan sejarah kurang menanamkan pendidikan karakter. “Terlalu banyak fakta, kurang mengungkapkan nilai-nilai dan pikiran para pemimpin bangsa di masa lampau,” kata Said.

photo
Seorang siswi mencari buku sejarah saat mengikuti belajar bersama di Perpustakaan Nasional, Jakarta. (ilustrasi)

Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim menilai, buku sejarah yang ada saat ini kurang kuat dalam menggambarkan perjuangan kedaerahan Indonesia. Padahal, menurut Ramli, penggambaran perjuangan kedaerahan tersebut merupakan simpul-simpul kekuatan nasional.

Ramli berpendapat, setiap daerah memiliki budaya masing-masing yang mereka kembangkan sendiri. “Bukan sekadar budaya yang diterima dari luar, tapi budaya asli daerah atau minimal adalah akulturasi budaya,” kata Ramli.

Dia mengaku, setuju dengan usulan kepala BPIP terkait revisi buku sejarah. Sebab, masyarakat Indonesia perlu dikuatkan dengan pendidikan sejarah Indonesia yang kuat. Kendati demikian, Ramli menilai, revisi harus dilakukan dengan melibatkan guru-guru sejarah.

Guru, menurut dia, perlu ikut berpartisipasi mengajukan naskah apabila revisi buku pendidikan sejarah dilakukan. Jangan sampai, kata Ramli, pemerintah hanya merevisi dengan mengundang dosen atau ahli.

“Perubahan buku sejarah sebaiknya dibuka ruang kepada banyak guru untuk mengajukan naskah. Jangan dibuat oleh percetakan atau para dosen yang tidak paham pendidikan dasar dan menengah,” kata dia. n wilda fizriyani/inas widyanuratikah, n ed: mas alamil huda

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement