REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dua orang dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) memperkenalkan budaya wayang kepada murid sekolah di Sabah Malaysia. Kegiatan yang merupakan bagian dari program Pengabdian kepada Masyarakat UMY diikuti lebih dari 200 siswa yang terdiri dari TK, SD ,dan SMP sekolah atau CLC (Community Learning Center) Tunas Perwira yang berada di area perkebunan kelapa sawit Rangu, Tawau, Sabah.
Dua dosen HI UMY yang mensosialisasikan wayang tersebut yakni Dr Sugeng Riyanto dan Sugito MA. Siswa peserta yang ikut dalam kegiatan tersebut adalah anak anak para pekerja ladang perkebunan kelapa sawit yang mayoritas keturunan Indonesia. Kehadiran tim dari UMY adalah dalam upaya membangun karakter ke Indonesiaan dari siswa tersebut agar mengenal budaya asli tanah leluhur Indonesia.
"Anak anak ini juga kita kenalkan dengan tokoh hero asli Indonesia seperti Bima dan Gatotkaca, utk mengimbangi gempuran budaya hero Barat yang menokohkan Superman, Batman, spiderman dll. Dan ternyata anak anak senang sekali. Mereka berusaha memegang wayang yang kami bawa langsung dari Jogja. Mereka pernah melihat hanya di TV," kata Sekretaros Program Internasional HI UMY Sugeng dalam siaran persnya Sabtu (22/2).
Dalam kegiatan yang berlangsung pada 12 Pebruari 2020 tersebut, dosen UMY juga menyerahkan sejumlah wayang kulit antara lain pandawa lima, tokoh kurawa dan punokawan, serta sejumlah buku cerita tentabg budaya khusunya wayang. Thomas Temu merasa sangat terharu dengan kegiatan Pengabdian yang juga didukung oleh Konsulat Republik Indonesia di Tawau.
Menurut informasi dari Konsulat Republik Indonesia di Tawau, lanjut Sugeng, terdapat lebih dari 200 CLC yang mampu menampung ribuan siswa. Keberadaan CLC adalah hasil dari perhanjian kerjasama antara pemerintah SBY dengan Pemerintah Datuk Najib pada 2011.
Beberapa kondisi CLC masih sangat memprihatinkan secara fasilitas dan kecukupan guru. Sugeng menggambarkan CLC mempunyai gedung yang berdinding kayu dan beratap seng dengan luas bangunan kira kira 25 × 10 meter. Bangunan tersebut digunakan untuk TK, SD dan SMP sekaligus yang jumlahnya lebih dari 300 siswa. Lebih memprihatinkan lagi jika ditengok dari jumlah guru yang hanya 7 orang.
"Menurut Thomas Temu, pengelola sekolahan tersebut, satu ruangan terpaksa dibagi untuk kelas 2, 3, 4 dan 5 tanpa dinding sekat," kata Sugeng mengungkapkan.