Ahad 09 Sep 2018 22:50 WIB

Demokrat Minta Kepala Daerah 'Tutup Mulut' Soal Dukungan

Kepala daerah jangan menggunakan simbol pemerintahan saat kampanye.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Muhammad Hafil
Pelantikan Kepala Daerah. Presiden Joko Widodo bersama Wapres Jusuf Kalla dan Gubernur saat kirab sebelum pelantikan di Istana Negara, Jakarta, Rabu (5/9).
Foto: Republika/ Wihdan
Pelantikan Kepala Daerah. Presiden Joko Widodo bersama Wapres Jusuf Kalla dan Gubernur saat kirab sebelum pelantikan di Istana Negara, Jakarta, Rabu (5/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Divisi Humas dan Advokasi Hukum DPP Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean meminta kepala daerah yang baru dilantik beberapa hari lalu untuk sementara waktu "tutup mulut" terkait dukung-mendukung pada Pemilihan Presiden (Pilpres 2019). Kepala daerah sebaiknya fokus dahulu ke urusan daerahnya.

"Kita harap kepada semua kepala daerah, siapapun di manapun, untuk menahan diri dalam berpolitik praktis seperti seakrang. Sabar dan bekerja dululah kepada masyarakat karena masyarakat menggantungkan harapan pada Pilkada untuk perubahan-perubahan ke depan, fokus dululah pada daerahnya," kata dia, Ahad (9/9).

Namun, lanjut Ferdinand, bukan berarti dia melarang kepala daerah untuk berpolitik. Sebab ia mengakui tiap orang punya hak berpolitik. Dia pun mempersilakan siapapun kepala daerah untuk menjadi juru kampanye pada perhelatan Pilpres tahun depan. Asalkan, menaati mekanisme aturan yang berlaku.

"Nanti kalau mau dukung-mendukung silakan, mau jadi juru kampanye silakan, tapi cuti atau mundur dari jabatannya. Tidak ada yang melarang, hak individu untuk berpolitik. Tapi menggunakan simbol-simbol jabatan pemerintahan kepala daerah untuk berpolitik praktis itu tidak bagus," tutur dia.

Ferdinand menyebutkan, pernyataan politik dari kepala daerah itu bisa dianggap sebagai pelanggaran. Pernyataan tersebut, lanjut dia, adalah wujud bahwa mereka telah bermain politik dan telah keluar dari tugas pokok dan fungsi kepala daerah. Kalau mau menyatakan dukungan, lanjutnya, jangan memanfaatkan jabatan pemerintahan.

Menurut dia, jika itu dilakukan maka sama saja memberikan pendidikan demokrasi yang buruk bagi masyarakat. Dan, berpotensi mengganggu iklim demokrasi ke depan karena belum apa-apa sudah menyatakan dukungannya terkait Pilpres 2019.

"Artinya mereka akan berpihak pada pihak yang mendukung Jokowi juga. Netralitasnya sebagai kepala daerah nanti tidak akan mampu lagi mengayomi dan merangkul semua unsur masyarakat pemerintahannya," ungkap dia.

Gubernur terpilih pada Pilkada 2018 dilantik oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Rabu (5/9) kemarin. Usai dilantik, beberapa menyampaikan dukungan politiknya pada capres pejawat Jokowi. Di antaranya, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur Papua Lukas Enembe, dan Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah.

Ombudsman RI kemudian angkat bicara mengenai pernyataan kepala daerah yang baru dilantik itu. Komisioner Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Saragih Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menegur kepala daerah yang berpihak pada Pilpres 2019. Sebab menurut dia, itu berpotensi menimbulkan ketidakadilan dalam pelayanan publik.

Komisioner Ombudsman lainnya, Laode Ida mengatakan, sikap berpihak terhadap salah satu capres tidak boleh dipertontonkan oleh seorang yang menjabat gubernur. Terlebih, mereka seharusnya menjadi teladan bagi aparatur sipil negara (ASN) lain agar menjadi ASN yang netral dan menerapkan birokrasi yang profesional.

"Secara prinsip itu tidak boleh karena dia harus mempertontonkan, menjadi teladan, untuk ASN yang netral dan birokrasi yang profesional," tutur Laode. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement