Selasa 11 Sep 2018 10:26 WIB

Lembaga Riset Prancis Serukan Pajak Halal Bagi Muslim

Membeli makanan halal dan berhaji termasuk dalam pajak halal.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Ani Nursalikah
 Seorang wanita muslim melintasi polisi Prancis yang berjaga di luar masjid kota Paris, Jumat (20/11), usai shalat Jumat.  (AP/Francois Mori)
Seorang wanita muslim melintasi polisi Prancis yang berjaga di luar masjid kota Paris, Jumat (20/11), usai shalat Jumat. (AP/Francois Mori)

REPUBLIKA.CO.ID, PRANCIS -- Lembaga penelitian Prancis merekomendasikan pemberlakuan pajak halal bagi Muslim. Dalam laporan yang berjudul The Islamist Factory yang dirilis Senin (10/9) menyebut, pajak halal itu untuk membayar asosiasi yang akan mengatur umat Islam di negara itu.

Dalam laporan tersebut yang dilansir di Middle East Eye pada Selasa (11/9), Institut Montaignealso mengusulkan, alih-alih diinstruksikan di masjid, bahasa Arab harus dipelajari di lebih banyak sekolah negeri mengikuti kurikulum nasional. Presiden Emmanuel Macron berjanji mendefinisikan kembali hubungan antara Islam dan negara. Dia juga menetapkan aturan pada musim gugur ini dan memastikan agama akan dipraktikkan di manapun sesuai dengan hukum republik.

Macron berada di bawah tekanan setelah gelombang serangan teroris sejak 2015 yang menewaskan lebih dari 230 orang di Prancis. Aturan resmi adalah pemisahan ketat antara agama dan negara, dengan yang pertama dianggap sebagai masalah yang sangat pribadi. Aturan itu telah digunakan untuk membenarkan pelarangan pemakaian jilbab Muslim bagi pegawai layanan publik serta pelarangan setiap pemakaian kerudung yang menutupi kepala sampai kaki di tempat umum.

Dalam laporannya, Hakim El Karoui, seorang konsultan Franco-Tunisia, menulis Salafi sedang manancapkan kukunya di kalangan Muslim Prancis, khususnya di kalangan anak muda. Ia juga mengatakan, Prancis harus membangun diskursus keagamaan Muslim sendiri untuk menantang wacana Salafi tersebut.

"Prancis harus melengkapi diri dengan sarana dan jaringan penting untuk menyebarluaskan pidato balasan ini. Siapa yang bisa melakukannya? Muslim," tulisnya.

Laporan Karoui juga menunjukkan, sekali lagi negara itu harus membentuk sebuah asosiasi Muslim nasional melalui pajak yang dikumpulkan dari Muslim, suatu ukuran yang telah diusulkan oleh institutnya sebelumnya. “Idenya adalah untuk menciptakan organisasi yang netral, independen dari negara-negara asal, independen dari mereka yang memegang masjid hari ini, untuk mengambil sejumlah kecil uang pada setiap tindakan konsumsi dan menginvestasikan kembali uang itu dalam pekerjaan teologis, karena itu adalah induk dari semua pertempuran," tulisnya.

photo
Muslim Prancis saat berunjuk rasa menentang larangan jilbab.

Dalam wawancara lanjutan dengan AFP, Karoui menyarankan tindakan kena pajak termasuk pergi haji dan membeli produk halal. "Muslim telah memperkaya diri mereka sendiri, bertentangan dengan apa yang diyakini, semakin banyak uang yang terkait dengan konsumsi: berhaji, halal, hadiah," katanya kepada AFP.

Sejak 1980-an, politisi Prancis telah berulang kali mencoba untuk merumuskan "Islam Prancis", dengan tujuan ganda mengelola integrasi imigran dan juga membela terhadap kekerasan yang diilhami agama. Akan tetapi, upaya ini telah dipenuhi kritik dari para pemimpin Muslim di negara itu, di mana 5,7 juta Muslim membentuk komunitas agama terbesar kedua.

"Setiap orang harus tetap berpegang pada peran mereka. Iman Muslim adalah agama dan, dengan demikian, mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Hal terakhir yang Anda inginkan adalah negara bertindak sebagai wali," kata Presiden Dewan Muslim Perancis Ahmet Ogras kepada Reuters awal tahun ini.

The French Council of Muslim Faith sendiri diciptakan oleh Menteri Dalam Negeri Nicolas Sarkozy pada 2003. Akan tetapi, menurut survei 2016 oleh Institut Montaigne, dua pertiga Muslim Perancis yang diwawancara tidak tahu apa itu.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement