REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Indonesia harus memaknai hijrah sebagai upaya sungguh-sungguh untuk membangun negara damai, rukun, saling mengenal, memahami, dan tolong menolong. Hal itu penting agar tidak ada lagi sebagian masyarakat Indonesia yang disakiti.
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi DKI Jakarta Ahmad Syafii Mufid meminta mengatakan semuanya harus diselesaikan menuju cita-cita Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila. Sehingga, rakyatnya hidup dengan makmur serta berkeadilan.
“Itulah yang digagas, dipikirkan, diperjuangkan, dan dibela mati-matian oleh seluruh rakyat Indonesia dengan konsep hijrah, jihad, dan niat sejak zaman sebelum kemerdekaan hingga pascakemerdekaan, hingga saat ini,” kata Syafii Mufid, sebagaimana disampaikan dalam siaran pers, Sabtu (16/9).
Dalam Islam, Syafii mengatakan, peristiwa hijrah merupakan salah satu momen paling bersejarah yang pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW saat hijrah dari Makkah menuju ke Madinah. Hijrah Rasulullah itu dimaknai sebagai pindah tempat yang tidak nyaman atau kondusif untuk berdakwah, lalu pindah ke tempat yang dapat menyambut dakwah.
Apa yang dilakukan Rasulullah tersebut adalah upaya untuk melepaskan tekanan-tekanan dari kaum jahiliyah. Namun, ia menambahkan, bukan dengan cara frontal seperti peperangan atau konflik, meskipun Rasulullah mendapatkan ancaman pembunuhan.
“Dalam peristiwa hijrah ini Rasulullah mampu menghindari dari perbuatan yang menjurus kepada aksi kekerasan,” ujar ketua Komisi Litbang Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini.
Baca Juga: Saqifah Bani Sa'idah dan Kelahiran Rasidhun
Saat tiba di Madinah, Rasulullah membangun masjid, lalu membangun pasar, supaya ekonomi di Madinah bisa berjalan dengan baik. Ia mengatakan ada dua hal yang dilakukan Nabi setelah membangun itu.
“Yakni, membangun suku-suku yang ada dan tinggal di Madinah itu disatukan melalui misa Al Madinah, melalui perjanjian Madinah atau piagam Madinah yang sangat terkenal," katanya.
Dari sana, kata Syafii, Nabi Muhammad berhasil membangun sebuah komunitas baru yang disebut masyarakat Madinah, masyarakat yang berkeadaban. Setelah itu, Rasulullah pada tahun ke-8 setelah hijrah kembali lagi ke Makkah.
Kala itu, terjadilah peristiwa yang disebut dengan Fathul Mekkah atau terbukanya Kota Mekah dan tanpa pertumpahan darah. “Itulah yang disebut dengan memaknai hijrah,” kata dia.
Karena itu, ia mengajak, masyarakat menyadari bahwa meski belum menjadi negara yang maju seutuhnya harus ada niatan menjadi negara yang maju. “Kita ini masih disandera oleh perbuatan-perbuatan yang tidak baik, misalnya narkoba, korupsi, terorisme,” ujar peneliti senior di Badan Litbang dan Diklat Kemenag ini.
Menurutnya, pernyataan tidak ada tempat bagi terorisme di Indonesia juga bisa dimaknai sebagai hijrah. Kalau ada orang-orang yang mempunyai perasaan pro kepada aksi terorime tentunya harus berpikir ulang kalau hal tersebut dimaknai sebagai jihad. Sebab, sejatinya tidak ada jihad dengan cara-cara teror semacam itu.
Menjelang Pilpres 2019 mendatang, Syafii Mufid mengajak seluruh komponen masyarakat untuk menjaga perdamaian. “Marilah kita semua menyebarkan kebaikan, berargumenlah dengan baik, jangan dengan model hoaks itu. Ini semua untuk menjaga persaudaraan seperti yang sudah dicontohkan Rasulullah tadi,” katanya.