Jumat 21 Sep 2018 09:17 WIB

Kisruh Impor Beras, Data Siapa yang Benar?

Bulog tak lagi memerlukan impor beras sampai dengan Juni 2019.

Rep: Adinda Pryanka/Febrianto/Rahayu/ Red: Teguh Firmansyah
Sejumlah pekerja melakukan pengemasan beras di gudang Perum Bulog Subdivisi Regional (Drive) Meulaboh, Aceh Barat, Aceh, Kamis (20/9). Kepala Perum Bulog Sub Drive Meulaboh Ade Mulyani mengatakan stok beras di gudang Bulog Meulaboh mencapai 3.200 ton setelah penambahan jatah beras impor Vietnam sebanyak 2.000 ton.
Foto: Syifa Yulinas/Antara
Sejumlah pekerja melakukan pengemasan beras di gudang Perum Bulog Subdivisi Regional (Drive) Meulaboh, Aceh Barat, Aceh, Kamis (20/9). Kepala Perum Bulog Sub Drive Meulaboh Ade Mulyani mengatakan stok beras di gudang Bulog Meulaboh mencapai 3.200 ton setelah penambahan jatah beras impor Vietnam sebanyak 2.000 ton.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masalah impor beras kembali menjadi perbincangan hangat publik. Ini setelah Kepala Bulog Budi Waseso atau akrab dipanggil Buwas tak mau lagi menerima beras impor. Pasalnya gudang-gudang di Bulog sudah penuh.

Penambahan beras impor, kata Buwas, hanya membuat pengeluaran Bulog menjadi bertambah. Bulog butuh biaya untuk menyewa gudang-gudang baru.

Masalah impor ini menunjukkan ada persoalan mendasar dalam pendataan pangan dalam negeri. Apakah benar kebutuhan beras sudah cukup? Kalau memang sudah cukup, lantas mengapa masih impor?

Mantan Sekretaris Jenderal Kementerian BUMN Said Didu menuturkan, kekisruhan terkait impor beras diakibatkan adanya perbedaan data yang dimiliki empat kementerian/ lembaga. Mereka adalah Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Perdagangan (Kemendag), Badan Usaha Logistik (Bulog), dan Badan Pusat Statistik (BPS).

Baca juga, Polemik Impor Beras dan Kegeraman Buwas.

Menurutnya, data yang dimiliki Kementan berangkat dari luas tanam. Asumsinya adalah semua yang ditanam akan menjadi gabah, kemudian menjadi beras dan masuk ke pasar. Sementara itu, BPS mempunyai data perkiraan produksi dari hasil ubinan.

"Jadi, biasnya akan tinggi," ujar Said dalam debat di Indonesia Business Forum di Jakarta, Kamis (20/9).

Data Kemendag biasanya didapatkan dari bertanya ke pedagang besar, sehingga tidak memiliki data gudang. Sedangkan, dari Bulog, data yang dimiliki adalah beras milik pemerintah sehingga tidak dapat mewakili jumlah beras di seluruh Indonesia.

Tidak hanya perbedaan data antarkementerian/ lembaga terkait, Said menjelaskan, kekisruhan juga terjadi akibat data yang dimiliki adalah tahunan. Padahal, yang dibutuhkan adalah data konsumsi harian. Sebab, dinamika beras terjadi bukan secara tahunan, melainkan harian.

"Kalau distribusi beras tertunda tiga hari saja, harga pasti naik. Jadi, data tahunan tidak dapat untuk proyeksi harga. Data harian yang harus dikaitkan dengan data tahunan," ujarnya.

Apabila antar-kementerian/ lembaga terkait masih terus menampilkan perbedaan, Said curiga akan adanya kepentingan subyektif yang coba diobyektifkan. "Ini yang membuat masyarakat berduga-duga, siapa yang sebenarnya ada kepentingan subyektif di sini," ucapnya.

Pemerintah secara total telah menyetujui impor beras sebesar dua juta ton. Impor tersebut masuk secara bertahap.

Buwas mengungkapkan, Bulog tak lagi memerlukan impor beras sampai dengan Juni 2019. Ia mengaku memiliki kajian yang kuat sebelum memutuskan hal tersebut. Buwas telah mempertimbangkan masukan dari ahli independen, Kementerian Pertanian, serta jajaran Bulog.

Buwas menyebutkan bahwa saat ini cadangan beras di gudang Bulog mencapai 2,4 juta ton. Jumlah tersebut belum termasuk dengan beras impor yang akan masuk pada Oktober sebesar 400 ribu ton sehingga total cadangannya menjadi 2,8 juta ton.

Dari total cadangan tersebut, Bulog memperhitungkan kebutuhan untuk Beras Sejahtera (Rastra) hanya akan terpakai 100 ribu ton. Dengan demikian, total stok beras yang ada di gudang Bulog hingga akhir Desember 2018 sebesar 2,7 juta ton.

Belum ditambah dengan serapan gabah dari dalam negeri sebesar 4.000 ton per hari (pada musim kering). Buwas memperkirakan stok akhir bisa mencapai 3 juta ton. Ia juga meyakini dengan posisi stok akhir Desember ditambah dengan serapan gabah hingga Juni 2019, Indonesia tidak perlu impor beras.

"Tim mengatakan rekomendasi sampai Juni 2019, tidak perlu impor. Bahkan, dimungkinkan beras cadangan impor dari Bulog tidak akan keluar. Tinggal menjaga, masa kita harus bertahan pada impor?" kata Budi Waseso atau yang akrab disapa Buwas.

Buwas mengaku saat ini harus menyewa gudang milik TNI AU untuk menyimpan stok beras. Karena itu, jika menyanggupi keinginan pemerintah untuk terus melakukan impor kembali maka tidak ada tempat lagi. Seharusnya menurut Buwas pemerintah menyediakan gudang beras.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita tak mau ambil pusing dengan persoalan penuhnya gudang Bulog. Menurut Enggar, persetujuan impor telah dirapatkan bersama di kantor Kemenko Perekonomian. Beras impor dibutuhkan untuk menstabilkan harga pangan.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement