REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai kandidat di ajang Pilpres 2019, KH Ma’ruf Amin diketahui masih memegang macam-macam jabatan, antara lain ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Wakil Ketua Umum (Waketum) MUI Yunahar Ilyas, menegaskan cicit Syekh Nawawi al-Bantani itu maju sebagai calon wakil presiden atas inisiatif pribadi. Tidak ada sama sekali sangkut-paut organisasi tersebut di balik keputusannya berpolitik praktis.
“Oleh sebab itu, secara kelembagaan, MUI tetap netral. MUI tidak terlibat sama sekali di dalam proses politik ini, sehingga Pak ketua umum juga telah berjanji menjaga netralitas (MUI) dan tidak akan menggunakan MUI sebagai kendaraan politiknya,” ucap Yunahar saat dihubungi, Rabu (26/9).
Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) MUI memang memungkinkan adanya seorang pejabat teras maju sebagai seorang kandidat di ajang pemilihan umum tanpa harus melepas jabatannya di struktur MUI. Akan tetapi, lanjutnya, sejak semula seluruh jajaran pengurus telah berkomitmen memelihara marwah MUI sebagai milik umat Islam seluruhnya. Jangan sampai ada kesan lembaga ini memihak salah satu kubu sehingga menimbulkan dampak yang tidak baik bagi persatuan kaum Muslimin.
“Tapi (kalau menyuarakan dukungan) atas nama pribadi, silakan saja. Kalau ada pribadi-pribadi pengurus yang bergabung dengan (mendukung) salah seorang calon presiden juga silakan, tapi ingat itu atas nama pribadi, bukan MUI, bukan kelembagaan,” katanya.
Memang, diakuinya ada tantangan tersendiri di seluruh jajaran kepengurusan MUI karena pada faktanya KH Ma’ruf Amin masih tetap berstatus ketua umum di sana. “Jadi, (seluruh pengurus MUI) harus kerja lebih keras lagi untuk menjaga netralitas. Jangan sampai ditafsirkan bahwa MUI memihak,” ujarnya.
Hal lain yang diingatkannya berkaitan dengan masa kampanye pilpres yang dimulai sejak 23 September 2018-13 April 2019. Menurutnya, publik mesti cermat sekarang Kiai Ma’ruf tidak lagi sekadar tokoh agama, melainkan sudah menjadi salah seorang kandidat di kontestasi politik.
Oleh karena itu, lanjut Yunahar, segala saran dan kritik yang mengarah pada kiai tersebut sudah menjadi bagian dari dinamika politik. Tidak perlu hal itu dibawa-bawa ke ranah kelembagaan tertentu, termasuk MUI.
“Misalnya, kalau ada yang mengkritik beliau (Kiai Ma’ruf), nah tidak harus diartikan mengkritik MUI atau mengkritik ketua umum MUI, tetapi itu (mengkritik) cawapres. Masyarakat harus bisa membedakan, beliau itu sekarang bertindak (di ajang pilpres) bukan atas nama ketua umum MUI, tetapi atas nama cawapres. Kalau ada yang salah atau kalau ada yang tidak benar, jangan dikaitkan dengan MUI. Harapannya kami begitu,” ujarnya.
Baca juga: Yenny Wahid: Bismillah, Jokowi akan Kembali Pimpin Indonesia