Selasa 09 Oct 2018 10:46 WIB

Kode-Kode Korupsi yang Mengecoh

Kode-kode korupsi menunjukkan koruptor makin banyak akal.

Kode korupsi yang dibongkar KPK.
Foto: republika
Kode korupsi yang dibongkar KPK.

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Dian Fath Risalah

Selama 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menetapkan 78 orang tersangka dari 22 kegiatan operasi tangkap tangan (OTT). Terungkap pula beberapa kode atau sandi suap yang mereka gunakan mulai dari istilah agama, buah-buahan, jajanan anak-anak, jenis kopi-kopian, nama penyanyi, hingga makanan tradisional.

Pegiat antikorupsi dari Transparency International Indonesia (TII), Dadang Trisasongko, mengatakan, tingkat kecerdasan koruptor di Indonesia dapat diklasifikasikan berdasarkan kode-kode yang mereka ciptakan. Ada koruptor yang kaku, tetapi ada pula yang sangat kreatif.

Menurut dia, kode diciptakan untuk menyamarkan aksi yang sedang mereka lakukan. Kode untuk penyamaran pun bisa menggunakan istilah apapun yang tidak terbatas. "Istilah yang digunakan para koruptor itu menurut saya sudah lazim dipakai sejak puluhan tahun lalu," kata Dadang, Senin (8/10).

Ia menjelaskan, di zaman Orde Baru, kode lazim digunakan sebagai bagian dari cara menyelesaikan keruwetan birokrasi pemerintah. Akhirnya, kode digunakan sebagai pemberian kepada pejabat publik. 

"Ini sudah menjadi bahasa gaul yang disepakati antara pemberi dan penerima suap. Tujuannya mungkin ada dua, pertama untuk menyamarkan praktik korupsi dan juga untuk melunakkan istilah sogok atau suap," kata Dadang.

Dikutip dalam buku Metamorfosis Sandi Komunikasi Korupsi, para koruptor memahami bahwa setiap gerak-gerik mereka sedang diawasi. Sehingga, kode korupsi tampaknya diciptakan secara mendadak, tanpa melalui kompromi terlebih dahulu. 

Hal terpenting dalam komunikasi kode korupsi adalah adanya kesepahaman dan kesepakatan di antara dua orang yang sedang berkomunikasi. Misalnya, dua orang yang berkomunikasi menggunakan istilah yang dekat dengan lingkungan mereka.

Makin kreatifnya sandi komunikasi juga dilatarbelakangi dengan munculnya KPK pada 2002. Bagaimana tidak, KPK memiliki kewenangan khusus menyadap kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Mereka terpaksa beradu strategi dengan penyidik supaya praktik korupnya tidak ketahuan. 

Jalan keluar terbaik, kata para koruptor, adalah kembali memakai kode-kode rahasia. Walaupun KPK sudah terbiasa melacak percakapan rahasia, sandi tetaplah tak bisa langsung dipahami dalam sekali dengar.

Sementara, sejak 2012 hingga Oktober 2018, KPK telah menangkap 34 kepala daerah melalui operasi tangkap tangan (OTT). Para kepala daerah ditangkap atas kasus suap dengan beragam modus.  "Namun semua kepala daerah ini ditangkap dalam kasus suap," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah.

Febri menuturkan, sebagian besar kepala daerah ini menerima suap terkait fee proyek. Selain itu, kepala daerah yang menerima uang suap terkait perizinan, pengisian jabatan di daerah, dan pengurusan anggaran otonomi khusus.

Terakhir, KPK menangkap tangan Wali Kota Pasuruan Setiyono terkait penerimaan fee proyek di daerahnya pada Kamis (4/10). Dalam suap itu, terungkap sejumlah kode untuk menyamarkan suap kepada Setiyono dan orang dekatnya, seperti 'apel' dan 'kanjengnya'. 

"(Kode) 'apel' untuk fee proyek, dan 'kanjengnya' yang diduga berarti wali kota," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement